Bisnis.com, JAKARTA - Meski bukan ‘barang’ baru, keberadaa advokat asing di Indonesia hingga kini masih menyisakan persoalan, terutama dari sisi pengawasan karena regulasi yang kurang detail. Di sisi lain, keberadaan mereka sudah tidak dapat dibendung.
Berdasarkan catatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), terdapat 57 warga negara asing (WNA) di Tanah Air yang mengikuti ujian advokat asing tahun lalu. Mereka antara lain berasal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Singapura.
Menurut UU Advokat, WNA yang berprofesi sebagai lawyer dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.
Namun, kantor hukum di Indonesia diperbolehkan mempekerjakan advokat asing ini. Selain keahlian hukumnya, advokat asing terkadang direkrut untuk menambah jaringan.
Maklumlah, korporasi asing kadang lebih memilih ahli hukum yang memiliki kesamaan bahasa atau kewarganegaraan dalam melakukan aksi bisnisnya di Indonesia. Alasan lain adalah soal kemampuan advokat lokal yang dianggap kurang menguasai hal-hal spesifik tertentu.
Meski diizinkan dengan berbagai pembatasan, pada praktiknya ditemukan berbagai penyimpangan. Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Keadilan (PSHK) menemukan beberapa bentuk penyimpangan praktik advokat asing di Indonesia yang memanfaatkan celah regulasi dan lemahnya pengawasan.
Miko Ginting dari PSHK menuturkan ada tujuh bentuk praktik penyimpangan yang ditemukan timnya. Pertama, advokat flying in flying out. Advokat jenis ini pagi terbang ke Indonesia untuk bertemu klien dan malamnya kembali ke negara asal, seperti ke Singapura.
Kedua, melanggar kuota maksimal advokat asing. Ketiga, advokat atau kantor hukum asing mendirikan kantor hukum di Indonesia dengan kedok sebagai perusahaan konsultan yang berbadan hukum perseroan terbatas (PT).
Keempat, kantor hukum yang dimiliki warga negara Indonesia tapi terdaftar sebagai advokat di negara lain. Kelima, membentuk kantor hukum dengan nama campuran Indonesia dan asing.
Keenam, model kantor hukum Ali Baba, dari luar kelihatan sebagai kantor hukum Indonesia tapi di dalamnya dikelola oleh advokat asing. Ketujuh, advokat asing memberikan jasa konsultasi hukum Indonesia di negara asalnya atau negara lain selain Indonesia baik dengan tatap muka langsung maupun melalui korespondensi surat elektronik.
Di kalangan pekerja hukum, praktik penyimpangan itu sudah jadi pengetahuan umum. Sayangnya, tidak ada cukup tindakan berarti untuk menanganinya. Peradi sendiri sebagai lembaga yang memberi rekomendasi dianggap lebih sibuk berkonflik di internal.
Persoalan di regulasi yang tidak detail juga perlu dibenahi. PSHK sendiri telah mendesak adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Keputusan Menteri Hukum dan Ham No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004.
Lebih dari itu, serbuan advokat asing sesungguhnya sesuatu yang tidak akan terbendung. Karenanya, perlu panduan yang lebih jelas bagi akses advokat asing.
PENGAWASAN
Menurut Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Indra Safitri, keberadaan advokat asing tidak lepas dari perkembangan jasa hukum kita. “Salah satu titik lemah, sebenarnya tidak ada yang mengawasi,” ujarnya dalam diskusi terbatas yang diadakan Jentera School of Law belum lama ini.
Di luar persoalan adanya penyimpangan, advokat asing merupakan bagian dari kebutuhan. Mau tidak mau, keberadaan mereka justru diperlukan, diantaranya untuk transfer pengetahuan.
Hal itu diamini pengacara Mohamad Kadri. “Kita butuh lawyer asing sebagai partner. Namun, kita juga tidak boleh sedemikian mudah merekrut advokat asing,” ujar salah satu pendiri kantor hukum AKSET Law itu.
Menurut Kadri, lawyer lokal tidak boleh minder di hadapan advokat asing, terutama jika berbicara soal hukum Indonesia. Baginya, posisi advokat asing dan lokal itu setara. Karena itu isu yang harusnya kini menjadi konsen adalah kompetensi advokat lokal, terutama menghadapi kompleksitas transaksi bisnis.
Senada dengan itu, Harun Reksodiputro mengakui keuntungan bekerjasama dengan advokat asing. Kantor hukumnya sendiri berafiliasi dengan Allen & Overy LLP yang memiliki jaringan global.
“Kerja sama dengan asing itu hanya bermanfaat jika ada transfer of knowledge. Sehingga makin lama lawyer Indonesia itu semakin pintar,” tegasnya.
Diakuinya, tidak ada aturan yang jelas soal advokat asing maupun bentuk-bentuk kerja sama dengan kantor hukum di luar negeri. Yang ada saat ini hanya sekadar larangan kantor hukum asing beroperasi di Indonesia.
Adapun bagi lawyer asing yang bekerja di kantor hukum di Indonesia diwajibkan menyediakan waktu untuk mengajar. Namun, kebanyakan yang dilakukan lawyer asing hanya mengajar bahasa Inggris, dan bukan melakukan transfer pengetahuan hukum.
Ke depan butuh komitmen lebih dari seluruh pemangku kepentingan, terutama pembuat kebijakan, agar posisi advokat asing lebih jelas dan tidak terjadi penyimpangan. Bagaimanapun, advokat asing adalah kawan agar advokat lokal semakin berkembang.