Kabar24.com, PARIS - Wabah virus Middle East Respiratory Syndrome (MERS) menjadi risiko terbesar yang dihadapi industri penerbangan.
"Maskapai membatalkan sejumlah penerbangan ke China, Korea, Taiwan. Kami berharap bisa menyelesaikannya dengan cepat. Dunia sudah belajar dari SARS," kata Kepala Eksekutif BOC Aviation Robert Martin, Sabtu (20/6/2015).
Risiko datang dari kekhawatiran bepergian sehingga konsumen cenderung membatalkan rencana. Hal itu akan berdampak negatif pada sektor pariwisata dan perekonomian.
"Hal ini telah menjadi risiko nomor satu pada beberapa minggu terakhir," kata Martin. Terlebih, isu ini dengan cepat menyebar.
Sementara itu Asosiasi Bandara Internasional memperkirakan maskapai Asia Pasifik akan kehilangan 8% lalu lintas penerbangannya secara year-on-year dan menggerus pendapatan hingga US$6 miliar.
Namun, Martin menilai, jika menilik pada kasus SARS kekhawatiran konsumen relatif cepat pulih sehingga tekanan terhadap industri penerbangan maupun perekonomian tak berlarut-larut
Kelesuan industri aviasi juga tercermin dalam pergerakan saham maskapai.
Di Thailand, saham maskapai-maskapai dan pengelola hotel anjlok pasca pemerintah setempat mengonfirmasi kasus MERS pertama di negara itu. Kasus di Thailand dinilai bisa memicu kepanikan di Asia seperti kasus SARS pada 2002-2003.
MERS pertama kali ditemukan pada manusia di Arab Saudi pada 2012. Arab menjadi negara dengan kasus MERS terbanyak di wilayah Timur Tengah. Belakangan, virus itu menyebar hingga ke Korea Selatan sedangkan Thailand tercatat sebagai negara keempat yang melaporkan kasus MERS.
Penyebaran MERS di Korea Selatan yang dimulai bulan lalu tercatat menyerang 166 orang dan menewaskan 24.
Terkait hal tersebut, Moody's Investors Service memperingatkan bahwa MERS berisiko melukai pemulihan pertumbuhan Korea Selatan.