Kabar24.com, JAKARTA-- Puluhan tahun bergelut dengan teknologi lubang resapan biopori mengantarkan piala Kalpataru ke tangan Kamir Raziudin Barata.
Penghargaan Kalpataru kategori Pembina Lingkungan Hidup 2015 diserahkan kepada Kamir oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di halaman belakang Istana Bogor pada Jumat (5/6/2015).
Penyerahan Kalpataru bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2015 yang bertema "Mimpi dan Aksi Bersama untuk Keberlanjutan Kehidupan di Bumi".
Pagi itu, Kamir mengenakan pakaian pangsi serba hitam, lengkap dengan ikat kepala khas Sunda. Dia tak berharap meraih Kalpataru. Harapannya hanyalah agar masyarakat mendapat manfaat dari teknologi lubang resapan biopori.
"Sebenarnya bukan harapan mendapatkan ini, tetapi masyarakat mendapatkan manfaat biopori. Soalnya sayang sekali teknologi yang diteliti lama tidak dimanfaatkan masyarakat," tuturnya ketika berbincang dengan Bisnis di pelataran Istana Bogor.
Dosen
Kamir mengembangkan teknologi pelestarian lingkungan hidup dengan metode lubang resapan biopori sejak menjadi dosen di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Tepatnya pada 1976.
"Itu saya mulai sejak punya mahasiswa pada 1976. Tetapi baru disebarkan secara massal pada 2007," kata pria kelahiran Cirebon ini.
Dosen IPB ini mencetuskan, lubang resapan biopori (LRB) untuk menciptakan teknologi senderhana yang dapat berperan aktif dalam pelestarian lingkungan. LRB berfungsi untuk meresapkan air ke dalam tanah, sekaligus penampung sampah organik dan melestarikan fauna tanah.
LRB merupakan lubang silindris pada permukaan tanah yang diameternya hanya 10 sentimeter dengan kedalaman 1 meter. Ukuran yang kecil dibuat untuk mengoptimalkan penampang vertikal tanah sehingga rumah tangga dengan luas halaman yang sempit pun bisa mengaplikasikan LRB di rumah mereka.
Sampah Organik
Sebagai penampung sampah organik, lanjutnya, rumah tangga dibiasakan memilah sampah. Sampah nonorganik nantinya dapat dimanfaatkan untuk diberikan kepada pemulung.
Apabila diterapkan secara masif, teknologi biopori ini diharapkan dapat mengurangi risiko banjir. Minimal, mengurangi genangan dan menjadi tempat mengikat karbon dioksida.
Kamir menuturkan, sejak diperkenalkan, gerakan LRB telah bergulir secara sporadis di tengah masyarakat. Baru pada 2007, tepatnya pada peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 Maret, teknologi yang awalnya diterapkan di pekarangan rumahnya ini mulai diadopsi secara masal oleh masyarakat, terutama Bogor.
"Sekarang Bogor dari bawah masyarakatnya tanpa bantuan pemerintah itu melakukan gerakan 5 juta biopori. Saya selalu tanya, katanya jumlahnya sekarang hampir 1 juta LRB," tutur Kamir.
Menurutnya, Pemerintah Bogor berencana membuat lubang resapan biopori ke-1.000.000 di sekitar Istana Bogor.
"Mudah-mudahan bisa dilakukan," imbuhnya.
Ahli ilmu tanah ini berharap setiap orang dan setiap rumah tangga dapat mengaplikasikan LRB di rumah masing-masing. Pasalnya, setiap orang memiliki sampah rumah tangga dan terkena paparan hujan.
Pemberdayaan
Dengan pemanfaatan lahan pekarangan rumah, tidak ada alasan lagi seseorang tidak menerapkan LRB lantaran tidak mendapatkan izin. Tujuannya, supaya pemberdayaan masyarakat untuk lingkungan itu terwujud.
Kamir menambahkan, tak hanya di Indonesia, teknologi lubang resapan biopori juga mulai dilirik oleh negara lain. Teknologi domestik ini diharapkan dapat menyebar sehingga pelestarian lingkungan menjadi gerakan masif.
"Ada beberapa negara lain yang coba mengikuti. Karena kegiatan ini semakin masif mungkin masyarakat melaporkan bahwa teknologi domestik itu penting. Itu sehingga saya dapat penghargaan," pungkasnya.