Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Monokultur Sawit di Kawasan Hutan Sama Dengan Pemusnahan Suku

Konversi kawasan hutan produksi menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran berisiko menggusur masyarakat hukum adat yang berada di sekitar hutan.
Konversi kawasan hutan produksi menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran berisiko menggusur masyarakat hukum adat yang berada di sekitar hutan./JIBI
Konversi kawasan hutan produksi menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran berisiko menggusur masyarakat hukum adat yang berada di sekitar hutan./JIBI

Bisnis.com, SORONG -- Konversi kawasan hutan produksi menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran berisiko menggusur masyarakat hukum adat yang berada di sekitar hutan. 

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan pihaknya tidak menolak keberadaan kebun sawit. Namun, konversi lahan terdegradasi (degraded land) menjadi kebun sawit raksasa dinilai sebagai langkah negatif bagi masyarakat adat. 

Masyarakat adat, kata Abdon, terbiasa hidup multikultur dengan keanekaragaman hayati yang tersedia di hutan. Apabila ekosistem tersebut diubah menjadi monokultur sawit, akan terjadi culture shock pada masyarakat adat.

"Masyarakat adat tidak bisa beradaptasi secara cepat. Ujung-ujungnya masyarakat adat tersingkir, karena tidak biasa kelola sawit," katanya di sela Rakernas IV AMAN, Senin (16/3/2015). 

Menurutnya, konversi degraded land menjadi kebun sawit merupakan langkah pemusnahan suku. Pasalnya, perubahan yang cepat membuat masyarakat adat tersingir yang digantikan dengan para pendatang.

"Akan muncul krisis pangan dan penyakit-penyakit baru yang tidak dikenal masyarakat adat. Ini yang terjadi pada Orang Rimba di Jambi, 11 orang meninggal," tutur Abdon. 

Bagi masyarakat adat, hutan merupakan sumber pangan. Apabila degraded land diubah menjadi kebun sawit tanpa diikuti proses sosial untuk menyiapkan adaptasi masyarakat adat pasti akan terjadi masalah.

Mengutip data pemerintah, ada sekitar 32.000 desa di sekitar 126,8 juta hektare kawasan hutan yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tanpa legalitas tanah ulayat dan kawasan hutan produksi yang tegas, konflik agraria yang mengorbankan masyarakat adat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper