Kabar24.com, JAKARTA — Eksekusi hukuman mati gelombang pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada 18 Januari lalu menyisakan sejumlah “dosa”.
Kepala Biro Riset Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Puri Kencana Putri mengatakankebijakan hukuman mati terhadap terpidana narkoba tidak memiliki validitas akurat.
BACA JUGA: PENGINJIL WANITA DIBUNUH: Arwah Korban Datangi Pelaku
Puri menyebut pada eksekusi gelombang pertama ada dua persoalan. Pertama, eksekusi terhadap Marco Archer Cardoso Mareira, 53, warga negara Brasil. Menurut dia, ada satu pelanggaran fundamental yang dilakukan pemerintah Indonesia.
"Ada pelanggaran jaminan kebebasan beragama," ujar Puri di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Kamis (12/3/2015).
BACA JUGA: AHOK VS DPRD DKI: Panitia Angket Panggil Nenek Gue Aja Kata Ahok
Marco, kata Puri, merupakan penganut Katolik. Ketika dieksekusi, Marco tidak mendapat kesempatan melakukan proses sakramento (ibadah ekaristi dan pengakuan dosa). Persoalan kedua, eksekusi terhadap Daniel Enemua, 38, warga negara Nigeria.
Menurut Puri, keluarga terpidana yang tinggal di Nigeria protes. Keluarga mengatakan bahwa Daniel masih hidup di negaranya.
"Lalu yang dieksekusi siapa? Padahal eksekusi tersebut sudah pasti tak bisa mengembalikan nyawa seseorang," ujar Puri.
SIMAK: AHOK VS DPRD DKI: RAPBD Versi Dewan Memang Ngaco, Ini Buktinya
Puri mensinyalir ada pemalsuan paspor sehingga penegak hukum salah tangkap. "Kenapa tidak transparan? Siapa yang dieksekusi waktu itu?" katanya.
Mantan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Inspektur Jenderal purnawirawan Benny Jozua Mamoto mengatakan, sindikat narktika dari Nigeria memang memalsukan paspor.
BACA: #SaveHajiLulung: Ini Dia Gantungan Kunci Antibegal Haji Lulung
Modusnya adalah ketika salah satu anggota sindikat masuk Indonesia, paspornya segera dialihkan ke seseorang yang dipanggil "bunda". Tujuannya, ketika anggota sindikat itu tertangkap, langsung mengaku dengan nama lain.
"Nanti saat persidangan, modusnya pakai error in persona, namanya salah. Seribu macam modus dilakukan agar sindikat lolos," ujar Benny.
Pada Minggu (18/1/2015), Kejaksaan Agung mengeksekusi enam terpidana mati narkoba di Nusakambangan dan Boyolali, Jawa Tengah. Selain Marco dan Daniel, empat lainnya yakni Ang Kim Soe (62 tahun, warga negara Belanda), Namaona Dennis (48 tahun, warga negara Malawi), Rani Andriani atau Melisa Aprilia (warga negara Indonesia), dan Tran Thi Hanh (warga negara Vietnam berusia 37 tahun).
Pada Maret ini, Kejaksaan Agung berencana mengeksekusi sebanyak 10 terpidana mati narkoba gelombang kedua. Proses dari sejumlah negara marak, terutama dari Australia dan Brasil, yang warga dengaranya masuk daftar eksekusi tahap kedua ini.