Bisnis.com, JAKARTA—Memperingati hari toleransi internasional yang jatuh pada 16 November, aktivis HAM gelar konferensi regional bertajuk Memperkuat Akuntabilitas Bagi Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara.
Kegiatan tersebut diselenggarakan di Perpustakaan Nasional, 17 hingga 18 November 2014.
Mereka tergabung dalam Asia Justice and Rights (AJAR), Jaringan Bina Damai, Ikatan Keluarga Korban Kekerasan dan Penghilangan Paksa (IKOHI), Lembaga Studi dan Advokasi (ELSAM), Human Rights Working Group (HRWG), Protection International, Korban Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Sobat KBB).
Selain konferensi, juga diselenggarakan pameran foto bertema humanisme. Pawai obor solidaritas juga diadakan sebagai rangkaian kegiatan.
“Kegiatan ini dibentuk untuk membangun sikap toleransi dalam masyarakat dan menggalang dukungan masyarakat dalam toleransi antar umat beragama,” ujar ketua penyelenggara Selviana Yolanda.
Dia menambahkan, bahwa peristiwa intoleransi antar umat beragama yang terjadi di satu negara akan sangat berdampak bagi kebebasan beragama di negara lainnya yang masih dalam satu kawasan.
Karenanya, kehadiran para peserta konferensi yang berasal dari beberapa negara seperti Myanmar, Singapura dan Filipina bisa menjadi sarana bertukar pikiran dan wawasan sehingga mampu menghasilkan rekomendasi bersama mengenai kehidupan toleransi antar umat beragama di Asia Tenggara.
Selain mendatangkan aktivis HAM dari negara lain, penyelenggara juga mengundang puluhan aktivis HAM dari berbagai latar belakang, mulai dari aktivis LSM yang peduli pada bidang HAM dan kebhinekaan, komunitas korban, lembaga-lembaga pemantau, peneliti, dan pendamping korban pelangagran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Konferensi juga mengumpulkan informasi dari lembaga-lembaga pemerintah terkait perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, di antaranya Kementerian Agama, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung , Kepolisian Republik Indonesia dan Komnas HAM.
“Ini bukan hanya sekadar seremoni, tetapi ada sesuatu yang bisa kita petik, ada pembelajaran dan mendapatkan gambaran terkait situasi keberagaman di Indonesia,” ujar Siti Aisyah, salah satu peserta konferensi asal Komunitas Solidaritas Perempuan Makassar.
Dia menilai masih banyak persoalan terkait tindakan hukum atas perilaku intoleran yang belum selesai.
Dia pun menganggap para penegak hukum di Indonesia pada praktiknya cenderung membiarkan perilaku intoleran atau cenderung berat sebelah dalam menyelesaikan kasus tersebut, terlebih ketika perilaku intoleran tersebut ditunjukan oleh organisasi massa yang besar.