Bisnis.com, JAKARTA - Konferensi regional bertajuk Memperkuat Akuntabilitas Bagi Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh para aktivis HAM di Perpustakaan Nasional pada 17 hingga 18 November lalu melahirkan rekomendasi bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Hal ini juga sebagai dukungan terhadap perwujudan poin 9 dari Nawa Cita Jokowi-JK yang berbunyi “memperteguh kebhinekaan dan memperkuan restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan, memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga.”
“Isu menolak seorang pemimpin hanya karena agama menandakan suatu kemunduran. Padahal, layak tidaknya pemimpin harusnya dilihat dari mampu tidaknya dia melayani masyarakat,” ujar Sekretaris Jenderal Aliansi Bhinneka Tunggal Ika.
Dia mengumpamakan masyarakat yang masih memendam kebencian terhadap etnis tertentu sebagai orang yang mengidap amnesia, karena dalam sejarahnya Bangsa Indonesia dibangun oleh para pendiri dari beragam etnis. Dia pun menilai, bahwa bukan agama yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik keberagaman, melainkan lebih ke persoalan antara mayoritas dan minoritas.
Konferensi yang dilaksanakan selama dua hari itu pun telah merangkum pola pelanggaran hak atas kebebasan beragama yang biasa terjadi di Indonesia.
Hal tersebut, misalnya terjadi melalui peraturan dan kebijakan diskriminatif seperti UU.No.1/PNPS/1965 Pasal 156a KUHP, PBM 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah dan SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah. Tindakan intoleransi juga hadir dalam bentuk lainnya seperti penyebaran syiar kebencian melalui media, mempengaruhi pemerintah dalam penanganan kasus, ancaman kepada korban, tindakan kekerasan dan respon pemerintah yang tidak adil.
Adapun rekomendasi yang dilahirkan dalam konferensi ini dirangkum ke dalam tujuh poin utama, antara lain:
1. Negara harus memperkuat komitmen pada visi kebangsaan dan kebhinekaan yang membentuk karakter Indonesia sebagai bangsa.
2. Negara perlu segera mencermati dan memeriksa seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan ketentuan dan norma hukum hak asasi manusia internasional.
3. Perlu segera dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan agar sejalan dengan konstitusi yang telah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
4. Negara khususnya para penegak hukum perlu mengembalikan kewibawaannya untuk tidak tunduk pada kelompok-kelompok intoleran yang menggunakan kekerasan atas nama agama.
5. Menindaklanjuti temuan Komnas HAM tentang kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan khususnya dalam kasus penyerangan terhadap Komunitas Ahmadiyah.
6. Pemerintahan baru Jokowi-JK perlu segera memberikan pemulihan bagi korban pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan.
7. Membangun kesadaran masyatakat tentang “keberagaman dan bukan penyeragaman” dengan cara menyebarkan pendidikan damai, toleransi dan kebhinekaan, khususnya dalam pendidikan formal dan media penyiaran.