Bisnis.com, TOKYO – Tanpa memberikan sinyal sebelumnya, bank sentral Jepang mengejutkan pasar keuangan global dengan menambah belanja stimulus. Tindakannya ini dilatarbelakangi oleh perekonomian Jepang yang lesu, akibat bekunya belanja domestik setelah kenaikan pajak penjualan.
Gubernur Bank of Japan (BoJ) Haruhiko Kuroda memutuskan untuk menambah basis moneter (monetary base) menjadi 80 triliun yen atau setara US$724 miliar, setelah sebelumnya ditetapkan sebesar 60-70 triliun yen.
“Kami memutuskan untuk menambah jumlah pelonggaran kualitatif dan kuantitatif untuk segera mencapai target kenaikan harga. Kita sedang berada di masa-masa kritis untuk membebaskan diri dari deflasi,” ungkap Kuroda setelah mengumumkan kebijakannya di Tokyo, Jumat (31/10/2014).
Keputusan Kuroda ini sejalan dengan prediksi para ekonom sebelumnya, yang memprediksi ia akan gagal mencapai target inflasi 2% pada tenggat waktu April 2015 mendatang. Menyusul keputusan ini, saham Nikkei melambung ke level tertingginya sejak 2007 namun yen melemah 1,7%.
Praktis pasar menunjukkan kekagetan luar biasa. Pasalnya, para ekonom mengestimasi bahwa Januari merupakan waktu tepat bagi BoJ untuk kembali menambah stimulus dan BoJ pun tidak menunjukkan intensi untuk memutuskan hal tersebut dalam waktu dekat.
Di sisi lain, ekonom Norinchukin Research Institute, Takeshi Minami menilai tindakan Kuroda sudah tepat karena bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve memutuskan untuk mengakhiri pelonggaran kuantitatifnya.
“Selain harus segera menarik Jepang dari belasan tahun deflasi, Jepang juga harus menjaga situasi dalam negeri dari dampak negatif yang dapat timbul karena The Fed menyudahi pelonggaran kuantitatifnya,” ungkap Minami merespons kebijakan Kuroda.
Penambahan pelonggaran kuantitatif ini diambil menyusul data yang dipublikasikan pemerintah Negeri Panda yang menunjukkan inflasi September kembali jatuh untuk bulan kesembilannya, berada di level 1%, masih jauh dari target yang ditetapkan BoJ.