Bisnis.com, JAKARTA - Joko Widodo alias Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) sepertinya tidak punya waktu bulan madu sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Di depan mata mereka sudah menunggu ujian yang harus di selesaikan.
Ujian paling dekat, Jokowi dan JK harus mampu meyakinkan rakyat, tidak hanya yang memilih mereka pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, dengan mengangkat para menteri yang benar-benar profesional.
Rakyat pasti belum lupa bahwa koalisi tanpa syarat (bagi-bagi kursi menteri) yang didengang-dengungkan oleh Jokowi dan JK. Janji kampanye itu ternyata lebih dipilih rakyat ketimbang tawaran koalisi Merah Putih Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Koalisi tanpa syarat, paling tidak dalam janji kampanye, meruntuhkan kelaziman di panggung politik Indonesia yang selama ini kental aroma ‘dagang sapi’.
Kini koalisi tanpa syarat mulai menjadi bahan gunjingan. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, sudah bicara tentang jatah kursi menteri. Hampir bisa dipastikan wacana tentang kursi menteri akan semakin kencang mendekati pelantikan Jokowi dan JK pada 20 Oktober.
Di sisi lain, pernyataan Jokowi bahwa pihaknya sudah berkomunikasi dengan Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga pantas dicermati.
Keinginan Jokowi dan JK menggandeng PD dan PAN kemungkinan besar atas perhitungan kekuatan suara di parlemen. Suara partai pendukung masih belum cukup untuk mengamankan pemerintahan Jokowi dan JK di Senayan.
Namun, sebelum sampai berbicara parlemen, pantas kita pertanyakan kira-kira apa yang menjadi alasan partai yang semula mendukung Prabowo dan Hatta kemudian pindah perahu ke Jokowi dan JK?
Naif tentunya kalau kita memandang tidak ada maksud (kepentingan) dari partai-partai tersebut. Kehadiran partai baru itu di koalisi tanpa syarat berpotensi memunculkan persoalan anyar di tengah tuntutan kursi menteri dari partai pendukung Jokowi dan JK.
Pada Pilpres 2014, Jokowi dan JK didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, PKB, Partai Nasional Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Sebenarnya, keberadaan koalisi Merah Putih akan memperkuat kualitas demokrasi. Oposisi, atau apapun istilah yang digunakan, yang kuat pastinya akan memaksa partai berkuasa akan lebih keras bekerja. Dengan begitu, konsep check and balance akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Jokowi dan JK harus lebih percaya diri—sesuatu yang sudah mereka punya ketika maju sebagai capres dan cawapres. Buktikan janji; koalisi tanpa syarat! Tak perlu juga membentangkan ‘karpet merah’ kepada mereka (parpol) yang datang belakangan.
Ujian berat kedua bagi pasangan Jokowi dan JK adalah mengenai harga bahan bakar minyak (BBM). Hampir tidak ada jalan lain yang bisa ‘menyelamatkan’ kocek negara kecuali mencabut atau mengurangi subsidi BBM yang artinya menaikkan harga.
Kita tentu berharap pencabutan kebijakan subsidi diambil oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sayang sinyal tersebut belum terlihat. Dari pernyataan para pembantunya, kemungkinan besar SBY tidak akan menaikkan harga BBM mengingat masa kerjanya tinggal kira-kira sebulan hari kerja.
Seharusnya penaikan harga BBM dilepaskan dari sekadar citra politik. Kebijakan pencabutan subsidi semestinya benar-benar didasarkan atas argumentasi anggaran belanja negara bukan pencitraan.
Kalau skenario SBY tak mau menaikkan harga BBM berjalan, mau tidak mau, pemerintahan Jokowi dan JK yang harus mengambil keputusan tidak populis tersebut.
Tentu tidak gampang bagi pasangan Jokowi dan JK mengambil keputusan menaikkan harga BBM karena PDI Perjuangan adalah partai yang paling ngotot menolak penaikan harga BBM pada 2012 bersama Hanura dan Gerindra.
Namun, Jokowi dan JK adalah pemimpin. Salah satu ujian keberhasilan pemimpin adalah bagaimana mereka berani mengambil keputusan pada saat-saat sulit—kritik yang sering disematkan kepada SBY.
Semoga Presiden terpilih Jokowi dan JK berani mengambil keputusan yang memang didasarkan kepentingan bangsa bukan sekadar citra politik dengan segala risikonya.