Bisnis.com, JAKARTA -- Anggota direksi yang melakukan sebuah tindakan melebihi kewenangannya sebagai direksi dan membawa keuntungan bagi perseroan maka menurut pasal 1654 KUHP maka anggota direksi tersebut tidak bisa dipersalahkan.
Anggaran dasar suatu perseroan tidak bisa menjadi parameter untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang dilakukan anggota direksi di luar kewenangannya tersebut salah atau tidak. Semua tergantung akibat yang ditimbulkan, jika rapat umum pemegang saham meratifikasi, maka tindakan tersebut tidak dapat dipersalahkan.
Hal tersebut dikemukakan oleh Zulfadli Soewito, pengacara yang menjadi saksi ahli dari pihak tergugat dalam sidang lanjutan kasus antara Direct Vision TV dan Astro Grup pada Kamis (24/4/2014) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Zulfadli memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya dibidang hukum perseroan.
Dalam kesaksiannya Ia juga mengatakan bahwa direksi dapat dibebaskan dari tuntutan perdata jika ada persetujuan dari rapat umum pemegang saham. Namun, sebelum itu harus diserahkan laporan pertanggung jawaban dari direksi, untuk selanjutnya ditinjau dalam rapat umum pemegang saham.
Zulfadli juga menjelaskan bahwa tidak menutup kemungkinan untuk menggugat direksi bila anggota direksi melakukan suatu kesalahan. Akan tetapi kesalahan tersebut harus dibuktikan. Salah satunya dengan menggunakan derivative action, namun hal tersebut harus dalam persetujuan rapat pemegang saham.
Dalam penjelasannya ia menambahkan bahwa dalam undang-undang perseroan, anggota direksi yang digugat harus diberhentikan sementara dan diberi kesempatan membela diri. Menurutnya bila direksi tidak diberi kesempatan membela diri dalam rapat umum pemegang saham, maka hasil yang berupa akta bisa cacat hukum.
"Kalo rapatnya dengan berbagai agenda dituangkan kedalam akta pernyataan keputusan rapat yang dibuat secara otentik, aktanya akan cacat hukum mengenai isinya,"
Selain Zulfadli, hadir pula Gunawan Wijaya dosen Universitas Tarumanegara yang juga selaku saksi ahli. Dalam keterangannya, Gunawan menjelaskan mengenai hukum perjanjian terutama perjanjian usaha kerjasama (joint venture). Ia menyatakan dalam suatu perjanjian jika salah satu klausulnya terdapat perikatan bersyarat dan syarat tersebut belum dipenuhi maka klausul tersebut belum berlaku, sementara perjanjiannya tetap ada.
Usai sidang kedua belah pihak tidak mau banyak berkomentar, " Ya normatif aja sih tadi ahlinya, nanti kita tanggapi di kesimpulan," ujar Peter kuasa hukum dari Direct Vision TV kepada Bisnis.
Sementara, kuasa hukum tergugat juga terlihat "Saya ga bisa nanggepin juga ya," ujar salah satu kuasa hukum dari tergugat.
Seperti diketahui bahwa kasus ini bermula dari kerjasama Astro dan PT Ayunda Prima Mitra Tbk dalam membentuk anak usaha PT Direct Vision (DV), untuk kemudian mengoperasikan Astro di Indonesia. Dalam kerja sama itu Lippo memasok saham senilai 49% melalui PT Ayunda Prima Mitra sementara Astro memiliki 51%.
Astro menginvestasikan dana sekitar US$ 285,3 juta dan Ayunda Prima sebesar US$ 14,7 juta. Namun, di tengah jalan kerjasama tersebut bubar karena tersangkut aturan kepemilikan saham asing yang maksimal 20%. Dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Oktober lalu, PT DV menuding Astro telah menyalahgunakan dana investasi sebesar US$16.185.264 untuk kepentingan tidak jelas.