Bisnis.com, TOKYO—Laju pertumbuhan Jepang kuartal III/2013 melambat lebih dari estimasi awal, diiringi dengan transaksi berjalan yang secara mengejutkan anjlok ke level defisit pada Oktober. Di lain pihak, China justru memecahkan rekor surplus perdagangan.
Kantor Kabinet di Tokyo melaporkan produk domestik bruto (PDB) kuartal ketiga hanya naik 1,1% dari kuartal sebelumnya, atau terkoreksi dari level 1,9%. Kementerian Keuangan juga mengungkapkan shortfall transaksi berjalan senilai 128 miliar yen (US$1,2 miliar).
Padahal hanya ada 4 dari 23 ekonom yang disurvei Bloomberg sebelumnya yang memprediksi defisit tersebut. Hal itu menggarisbawahi tantangan besar yang harus dihadapi Perdana Menteri Shinzo Abe dalam upayanya memacu pemulihan Negeri Sakura.
Turunnya pertumbuhan PDB Jepang ditengarai lebih disebabkan oleh pelemahan belanja bisnis, sehingga mengindikasikan perusahaan-perusahaan Jepang (yang dikenal dengan istilah Japan Inc.) tidak menggenjot investasi.
“Perusahaan-perusahaan cukup was-was dengan outlook perekonomian,” kata Junichi Makino, Kepala Ekonom SMBC Nikko Securities Inc. di Tokyo, Senin (9/12/2013).
Abe sendiri tengah berupaya menanamkan kepercayaan di Japan Inc. dengan berjanji kebijakannya akan menghasilkan pertumbuhan. Dia mendesak perusahaan-perusahaan Jepang untuk menaikkan upah lebih cepat dari kenaikan biaya hidup.
PM Jepang itu telah mendekati perusahaan seperti Toyota Motor Corp. dan Hitachi Ltd. untuk membantunya mengakhiri warisan deflasi selama 15 tahun dengan menaikkan upah minimum pekerja.
“Yang kami inginkan adalah agar upah naik lebih dari kenaikan harga. Kami ingin memasuki siklus inflasi secepat mungkin, di mana pertumbuhan ekonomi dapat mendongkrak laba perusahaan, kenaikan kompensasi, dan peningkatan belanja pekerja,” katanya.
SURPLUS CHINA
Sementara itu, raksasa Asia Timur lainnya, China, memecahkan rekor pelebaran surplus neraca perdagangan pada November setelah penguatan ekspor yang melebihi proyeksi berkat dorongan permintaan global.
General Administration Customs di Beijing melaporkan surplus mencapai US$33,8 miliar dan pengapalan luar negeri naik 12,7% dari tahun sebelumnya, serta impor menguat 5,3%. Harga konsumen hanya naik kurang dari perkiraan 3%.
Kuatnya permintaan dari luar negeri memberi ruang gerak bagi Perdana Menteri Li Keqiang untuk mengimplementasikan reformasi yang memberi kebebasan bagi pasar dan mendorong konsumsi domestik sebagai tumpuan pertumbuhan berkelanjutan untuk jangka panjang.
Pada saat bersamaan, laju inflasi yang di bawah perkiraan para analis mengindikasikan perekonomian China masih rentan.
“Ada pertanda aktivitas global dan siklus perdagangan mulai mencapai momentum berkat pemulihan di negara maju. Sektor ekspor China diuntungkan oleh hal itu,” kata Louis Kujis, ekonom Royal Bank of Scotland Group Plc. di Hong Kong.
Meski Kujis berpendapat kenaikan impor China menandakan penguatan permintaan domestik dengan harga yang turun dari tahun lalu, ekonom Barclays Plc Chang Jian mengatakan pengapalan masuk justru menunjukkan permintaan domestik melemah. (Bloomberg)