Bisnis.com, YOGYAKARTA - Ratusan warga Yogyakarta mengikuti tradisi Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng atau diam membisu berjalan mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka memperingati tahun baru Jawa 1 Sura, Selasa (5/11/2013) dini hari.
Ratusan warga bersama abdi dalem keraton tampak berkumpul di depan Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak Senin (4/11) pukul 22.00 WIB.
Acara ritual tahunan itu diawali dengan pembacaan kidung dan doa dipimpin oleh Romo Triatmojo sesepuh dari Paguyuban Songsong Buwono yang merupakan panitia penyelenggara acara tersebut.
Selanjutnya, tepat pukul 24.00 WIB ratusan warga baik penduduk asli Yogyakarta maupun pendatang beserta abdi dalem mulai menjalankan ritual budaya "lampah mubeng beteng" tanpa berbicara.
Mereka berjalan menempuh jarak sekitar lima kilometer berkeliling beteng keraton.
Rombongan abdi dalem yang berpakaian adat Jawa berada di depan dengan membawa bendera Merah Putih, Dwaja Budi Wadu Praja, Bangun Tulak, Pandhan Binetot, Pare Anom, Padang Ngisepsari, dan Megakampak.
Ritual dimulai dari Ngajeng Keraton (Alun-alun Utara) menuju Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, Jalan Letjen MT Haryono.
Selanjutnya, Jalan Mayjen Sutoyo, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan dan kembali ke Alun-alun Utara.
Kerabat Keraton KRT Pujoningrat di sela-sela acara mengatakan ritual Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng" dapat dimaknai mengheningkan cipta serta membersihkan diri untuk memohon perlindungan kepada Tuhan YME.
"Supaya apa yang kita mohon dikabulkan dengan diam untuk menghilangkan pikiran negatif di dalam kehidupan," katanya.
Suyudi Wagiman (42) Warga Yogyakarta yang turut serta dalam ritual itu mengatakan mengikuti acara tersebut untuk mewarisi dan melestarikan budaya leluhur. "Bagi kami kepercayaan hidup di Yogya mengikuti tradisi keraton. Ritual ini setahu saya sebagai wujud doa agar hidup di tahun baru (Jawa) ini lebih baik dari kemarin," katanya.
Menurut dia, peserta ritual saat ini lebih banyak dari sebelumnya. Untuk tahun-tahun sebelumnya, kata dia, sebagian besar hanya diikuti oleh warga desa dari kalangan tua saja. "Sekarang orang-orang kota bahkan pendatang juga mau ikut acara ini," katanya yang mengaku mengikuti ritual ini setiap tahun.