Bisnis.com, JAKARTA--Bagi Akil Mochtar hidup adalah perjuangan yang tak kenal henti.
Perjuangan tak mesti melahirkan sosok pahlawan yang selalu dipuja-puji, bahkan perjuangan terkadang menuai caci maki.
Meskipun demikian, pria tegar yang lahir di Putussibau pada 18 Oktober 1960 ini tetap memiliki komitmen tinggi untuk memperjuangkan keadilan bagi semua golongan dalam kapasitasnya sebagai hakim konstitusi.
Namun sayang, perjuangan Akil kandas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia tertangkap tangan Rabu (2/10/2013) malam karena diduga akan melakukan transaksi kasus sengketa salah satu Pilkada.
Bersama Ketua MK, ditangkap pula seorang anggota DPR dari Partai Golkar dan tiga orang lain dengan barang bukti uang tunai dalam bentuk dolar Singapura dengan nilai sekitar Rp2 miliar-Rp3 miliar.
Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva membenarkan orang nomor satu di MK itu ditangkap oleh KPK.
"Kami prihatin atas kejadian ini. Tapi penangkapan Ketua MK tidak banyak mengganggu kegiatan lembaga," ujarnya sebagaimana disiarkan Metrotv, Rabu (2/10/2013) malam.
KARIR DARI PENGACARA
Tercatat dalam situs mahkamahkonstitusi Akil memulai kariernya sebagai pengacara. Setelah dua kali terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ia mendapat amanah menjadi hakim konstitusi.
Separuh hidupnya dilalui untuk berjuang meraih pendidikan tinggi di tengah keterbatasan dan kesederhanaan keluarganya. From zero to hero, itulah usaha kerasnya untuk menggapai cita-cita ke jenjang yang tinggi.
Sebab, ia terlahir dari sebuah keluarga besar di kampung yang tidak makmur. Untuk makan, terkadang mereka mencampur beras dan jagung, umbi-umbian, atau bulgur. Disiplin dan kerja keras yang ditanamkan sejak dini, akhirnya membentuk pribadi Akil sebagai manusia tangguh.
Akil, biasa dipanggil Ujang, lahir pada 18 Oktober 1960 di Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, sebuah kota kecil berjarak 870 km dari Pontianak. Ayahnya, Mochtar Anyoek dan ibunya, Junah Ismail (alm).
Selepas SMA, Akil terobsesi untuk menggapai gelar sarjana. Tetapi, karena keluarga tak punya biaya, ia memutuskan merantau. Di rantau, ia lalu kerja serabutan, mulai dari loper koran, sopir cadangan, sampai broker sepeda motor. Agar bisa kuliah sehabis bekerja, ia memilih kampus swasta, Universitas Panca Bhakti, Pontianak.
Sebenarnya Akil mendambakan bisa diterima di fakultas pertanian. Namun, jurusan itu belum ada di kampusnya kala itu. Alternatifnya, ia masuk fakultas hukum.
Ketika masih kuliah, Akil diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Namun, ia kemudian mengundurkan diri. Alasannya, ia ingin lebih mandiri dan fokus pada studi.
“Saya pikir dengan punya ijazah sarjana saya bisa mengembangkan lagi,” ujar mantan politisi yang pernah bercita-cita menjadi jaksa itu.
Akil memiliki pandangan dan harapan untuk MK ke depan. Menurutnya, MK harus lebih responsif mengakomodasi setiap persoalan yang terkait erat dengan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Sebab, MK lahir dari kerangka checks and balances itu. “Bagaimana implementasi checks and balances itu dalam memberikan kesetaraan dan keadilan masyarakat,” ujarnya.
Secara institusional, menurut Akil, MK sudah sejalan dengan misi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya.
Ia berharap dari sisi kelembagaan, MK bisa menjadi sebuah contoh atau model peradilan modern di Indonesia.
Namun sayang, langkah Akil untuk memperjuangkan hal tersebut harus berhenti di KPK, sebuah lembaga yang sama-sama menegakkan supremasi hukum.