Bisnis.com, BADUNG - Kurang solidnya koordinasi berbagai lembaga pemerintah dan pelaku bisnis serta tidak selarasnya aturan yang ada menjadi hambatan dalam menangani pelanggaran hak kekayaan intelektual di Indonesia.
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan HAM Ahmad Ramli mengakui masih banyak kekurangan dalam menindaklanjuti berbagai pelanggaran yang terjadi. Namun, dia menegaskan pemerintah tengah berupaya secara sistematis melindungi HKI.
"Ada berbagai action plan yang kami susun dan akan dilakukan setelah rapat Timnas PPHKI [Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI selesai]. Sekarang terlihat kekurangannya di mana saja," ujar Ramli kepada Bisnis di sela-sela Forum Group Discussion HKI di Kuta, Kabupaten Badung, Bali hari ini, Selasa (17/9/2013).
Meski enggan menjelaskan secara detil apa saja action plan yang dimaksud, dia mengatakan pihaknya sedang membangun sistem regulasi yang lebih baik dan tetap diiringi penindakan tegas.
Regulasi yang dimaksud adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Hak Cipta yang sudah masuk dalam rencana pembahasan di DPR tahun depan. Sementara, penindakan langsung seperti penyitaan berton-ton CD, VCD, dan DVD palsu yang dilakukan di Glodok pada awal 2013.
Perwakilan International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) Widyaretna Buenastuti perubahan regulasi belum tentu membantu penanganan masalah HKI. "Berubahnya regulasi baru bisa membantu kalau perubahannya menyeluruh, tidak hanya tentang hak kekayaan intelektualnya saja tapi juga yang terkait dengan itu," paparnya.
Widya menerangkan untuk obat palsu, UU Merek yang saat ini berlaku hanya melihat pemalsuan mereknya dan bukan obat yang dipalsukan isinya.
Selain itu, dalam UU Perlindungan Konsumen disebutkan mereka yang bisa ditindak adalah pelaku usaha resmi, bukan pemalsu. Sehingga, lanjutnya, pemalsuan obat bisa terus terjadi.
Adapun laporan dari pelaku bisnis tidak selalu ditindaklanjuti sesuai harapan. "Ada hal-hal tertentu seperti transparansi dan proses pemeriksaan yang dirasa belum cukup. Bagi industri kan yang penting adalah kepastian," tutur Widya.
Dia menambahkan survei yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) belum lama ini mengungkapkan masyarakat memilih obat palsu karena harganya yang murah.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Budi Djanu Purwanto menuturkan meskipun pihaknya melakukan operasi rutin tiap tahun, tapi jumlah pemalsuan obat tetap bertambah. "Setiap tahunnya sekitar 230 perkara dari kami yang lanjut ke kejaksaan," sebutnya.