BISNIS.COM, JAKARTA-Dalam bukunya, "How to Win A Cosmic War" (2009), peneliti senior Orfalea Center for Global and International Studies University of California AS, Santa Barbara, Reza Aslan, mempopulerkan konsep Perang Kosmik.
Menurut Reza Aslan, Perang Kosmik yang pertama kali diperkenalkan pakar sosiologi AS, Mark Juergensmeyer, itu sebagai konsep yang dapat dimaknai sebagai konflik peperangan di mana para pelakunya beranggapan bahwa "perjuangan" yang dilakukan adalah antara kekuatan Baik dan Jahat.
Dalam konflik tersebut, sang pelaku percaya bahwa Tuhan berpihak kepada satu sisi dan menentang pihak musuh sehingga Perang Kosmik seperti perpaduan antara perjuangan fisik di dunia dengan pertempuran moral surgawi.
Konflik yang dilandasi paradigma Perang Kosmik, ujar Reza, merupakan realita yang terjadi di dunia material tetapi perang itu sendiri dijalankan pelakunya dalam pola pikir spiritual.
Perang Kosmik dapat mengubah pelaku pembantaian menjadi serdadu yang "suci" dan memiliki legitimasi dalam melakukan pengrusakan karena menurut mereka, konsep moralitas manusia tidak berlaku bagi mereka.
"What use does the cosmic warrior have for such ethical concerns when he is simply a puppet in the hands of God?" (Apa pedulinya para serdadu kosmis terhadap pertimbangan etika ketika dia menganggap dirinya hanyalah boneka yang digerakkan oleh tangan Tuhan?), tulis Reza.
Sebagaimana diberitakan, tragedi Bom Boston yang terjadi pada tanggal 15 April 2013 saat terjadinya Marathon Boston telah menewaskan tiga orang dan mencederai 264 warga lainnya.
Peristiwa nahas yang terjadi pada salah satu pergelaran atletik tahunan terbesar di Amerika Serikat itu diduga dilakukan oleh kakak beradik asal Chechnya, Rusia, Tamerlan (26) dan Dzokhar Tsarnaev (19).
Kedua tersangka juga diduga menembak dua petugas polisi dan mengakibatkan salah satu petugas yang terlibat baku tembak itu meninggal dunia di kampus Universitas Massachussette Intitute of Technology (MIT).
Tamerlan dilaporkan tewas tertembak polisi empat hari setelah peristiwa pengeboman, sedangkan Dzokhar cedera parah dalam perburuan dan kini dirawat di rumah sakit di Boston dengan pengawalan ketat aparat AS.
Dalam laporan interogasi yang berhasil diperoleh CNN dan diberitakan oleh kantor berita AFP, Dzokhar mengatakan kepada penyidik bahwa Tamerlan adalah pemimpin dari serangan-serangan mematikan tersebut, dan tidak ada kelompok-kelompok teroris internasional yang berada di balik mereka.
Jaringan berita itu mengutip sumber pemerintah AS yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa wawancara awal dengan Dzokhar menunjukkan dua bersaudara sesuai dengan klasifikasi jihad pribadi radikal.
"Dzhokhar Tsarnaev, terluka dan ditahan di satu rumah sakit Boston, mengatakan bahwa saudaranya yang tewas pada Jumat pagi ingin membela Islam dari serangan," kata CNN mengutip sumber tersebut.
Dzokhar sendiri jika dinyatakan bersalah, bisa menghadapi ancaman hingga hukuman mati dengan tuduhan menggunakan dan bersekongkol untuk menggunakan senjata pemusnah massal, serta kerusakan berbahaya dari properti dengan cara peledakan mematikan, kata Departemen Kehakiman AS.
Sementara kedua orang tua mereka yang masih tinggal di Rusia, berencana untuk pergi ke AS dalam rangka mencari kebenaran.
Hal tersebut karena menurut sang ayah, Anzor Tsarnaev, anak mereka dijebak aparat dan menuduh Pemerintah AS membunuh sang kakak untuk pamer.
"Itu semacam pertunjukan, tontonan," kata Anzor dengan menambahkan bahwa ia ingin anaknya dimakamkan di Rusia.
Anzor dan Zubeidat, ibu kedua kakak beradik tersebut menyatakan Tamerlan dipengaruhi suku Armenia pendatang dari Azerbaijan, yang mereka hanya tahu bernama Misha.
Pihak keluarga Tsarnaev menyatakan bertemu dengan Misha di dalam sebuah acara pertemuan pendatang berbahasa Rusia yang diselenggarakan di Boston pada 2007. Sedangkan pejabat AS menyatakan Tamerlan menjadi lebih keras daripada sekitar 2009.
Serang
Sementara itu, Wali Kota New York Michael Bloomberg menyatakan bahwa kedua kakak beradik yang dituduh melakukan pengeboman pada Marathon Boston juga berencana menyerang Times Square di New York.
Menurut Bloomberg, informasi mengenai rencana serangan itu diberikan oleh tersangka yang masih hidup, Dzhokhar Tsarnaev, kepada Biro Penyelidik Federal (FBI).
Sedangkan para pemimpin Chechnya menyatakan, kedua tersangka pembom Boston itu tidak dikenal di wilayah Rusia selatan meski mereka keturunan Chechnya.
"Mereka tumbuh di Amerika, pandangan dan keyakinan mereka terbentuk di sana. Akar kejahatan harus dicari di Amerika," kata Ramzan Kadyrov, pemimpin Republik Kaukasus Utara itu, dalam pernyataannya, Jumat (19/4/2013).
Kadyrov sebelumnya juga mengatakan kepada Kantor Berita Rusia RIA Novosti, bahwa mereka tidak mengenal Tsarnaev bersaudara yang selama ini tidak tinggal di Chechnya.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari kelompok militan yang beroperasi di Dagestan, dimana kakak-beradik penyerang bom Boston itu dibesarkan ketika masih anak-anak, mengatakan bahwa Emirat Kaukasus pimpinan Doku Umarov, tokoh yang paling diburu di Rusia, tidak menyerang AS.
"Kami berperang dengan Rusia, yang bertanggung jawab tidak saja atas pendudukan Kaukasus namun juga kejahatan keji terhadap muslim," kata pernyataan itu.
AS memasukkan Emirat Kaukasus ke dalam daftar kelompok teroris karena serangan-serangannya dalam upaya mengusir pemerintah Rusia dari kawasan Kaukasus Utara.
Sebagaimana diketahui Dagestan, yang terletak di kawasan pesisir Laut Kaspia, telah menggantikan wilayah-wilayah tetangganya sebagai pusat kekerasan di Kaukasus Utara yang berpenduduk mayoritas muslim.
Dagestan berbatasan dengan Chechnya di Kaukasus Utara, dimana Rusia menghadapi kekerasan muslim garis keras, dan provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim itu seringkali dilanda serangan dengan sasaran aparat penegak hukum dan pejabat pemerintah.
Sementara di Boston sendiri, pengurus Masjid Cambridge di Massachussetts, tempat tersangka pembom Maraton Boston sesekali beribadah telah menawarkan mengirim orang guna membantu perundingan dengan Dzhokhar Tsarnaev yang telah ditangkap polisi.
"Ketika terjadi penolakan oleh tersangka, kami menghubungi penegak hukum untuk mengatakan bahwa kami akan senang apabila bisa membantu menjadi penengah, apabila diperlukan," kata Juru Bicara Masyarakat Islam Boston, Yusufi Vali.
Hitam-putih
Hingga artikel ini ditulis, memang tidak banyak data dan fakta yang dapat terungkap guna mengetahui secara persis apa motif yang mengakibatkan pelaku dengan keji melakukan pengeboman yang juga menewaskan satu anak laki-laki itu.
Namun bila para pelaku mengacu kepada paradigma konsep Perang Kosmik, maka menurut Reza, hal itu telah membuat para pelaku berpikir bahwa dunia terbagi hanya kepada dua bagian, hitam dan putih.
Dalam konflik seperti Perang Kosmik, tidak ada garis tengah; setiap orang harus memilih pihak. Baik tentara maupun sipil, begitupun orang yang bertempur atau tidak (nonkombatan).
Dengan demikian, Perang Kosmik hanya membawa kepada persamaan yang simpel tetapi berakibat mengerikan, "If you are not us, you must be them" (Jika Anda tidak bersama kami, maka anda pasti bersama mereka).
Perkataan seperti itu juga mengingatkan antara lain kepada ucapan mantan Presiden AS George W Bush saat mengumumkan bahwa negaranya sedang berperang melawan pihak teroris pascaperistiwa 11 September 2001.
Pernyataan nonkompromistis itu juga dapat dikatakan berdampak mengerikan karena sama saja dengan mendehumanisasikan pihak lawan yang dituduh sebagai musuh (baik itu tentara maupun warga sipil biasa).
"Bertepuk tangan"
Imam Mesjid Indonesia di New York M Shamsi Ali mengatakan dalam tulisannya yang dikirimkan ke kantor berita Antara menyatakan bahwa kejadian Bom Boston dan semacamnya membuat ada sebagian orang yang mengira bahwa komunitas Muslim justru bertepuk tangan dengan peristiwa-peristiwa tersebut.
Padahal, menurut Imam Ali, Muslim telah menjadi bagian integral dari negara AS, maka apa saja yang terjadi di negara ini, baik atau buruk juga berdampak secara langsung kepada masyarakat Muslim.
Konsekuensi dari sebuah peristiwa akan secara langsung juga dialami oleh masyarakat Muslim Amerika sebagaimana masyarakat AS lainnya. Ambillah misalnya dampak krisis ekonomi pasca 11 September, di mana terjadi kenaikan drastis pengangguran di kalangan masyarakat Muslim AS.
Hal ini tentunya berdampak langsung kepada pengelolaan masjid-masjid, sekolah-sekolah Islam, dan berbagai institusi Islam lainnya yang memang bertumpu sepenuhnya kepada sumbangan masyarakat Muslim sendiri.
Ia juga menyatakan bahwa bagi seseorang yang sadar agama dan apalagi memahami Islam yang sesungguhnya, akan terasa menyakitkan ketika agama Islam dijadikan atau dipandang sebagai sumber kekerasan.
"Para teroris dan juga para penuduh boleh saja justru bahagia dengan perilaku mereka yang merampok agama ini sebagai pembenaran terorisme. Tapi bagi kami yang sadar dan paham agama Islam dengan wajah yang sesungguhnya justru tersakiti tanpa mereka sadari," tulisnya.
Ia juga menyoroti media massa dan para komentator yang mayoritas tidak tahu sama sekali Islam, membombardir masyarakat luas dengan berbagai konsep atau istilah-istilah yang memaksa seolah orang-orang Islam, apa pun latar belakangnya harus ikut bertanggung jawab atas terjadinya kejadian terorisme itu.
Kesimpulannya, anggapan bahwa masyarakat Muslim, khususnya yang di AS dan Barat secara umum tidak menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan oknum Muslim, baik atas nama Islam atau tidak, adalah keliru.
Sebaliknya justru masyarakat Muslim adalah korban berlipat ganda atas berbagai aksi kekerasan yang terjadi itu.
Baik para pelaku teroris maupun para pemfitnah atau penuduh bahwa agama tertentu pasti sebagai penyebab gerakan terorisme, kesemuanya adalah mereka yang memegang paradigma Perang Kosmik karena sama-sama menggeneralisasi kedua belah pihak sebagai musuh tanpa adanya keinginan untuk berkompromi.
Padahal, akan lebih konstruktif bila bersama-sama mencari tahu akar dari konflik yang sesungguhnya atau membawa tataran kosmis kepada realitas yang lebih membumi (seperti adanya standar ganda yang dilakukan negara adikuasa atau ketidakadilan sosio-ekonomi di dunia ketiga).
Reza menulis bahwa pada akhirnya, hanya ada satu cara untuk memenangkan Perang Kosmik, yaitu dengan menolak berperang di dalamnya. ("Because in the end, there is only one way to win a cosmic war: refuse to fight in it"). (Razi Rahman/Antara)