BISNIS.COM, DENPASAR--Penggerak pariwisata Bali mengklaim pariwisata Bali mampu mendatangkan devisa Negara hingga Rp75 hingga Rp100 triliun dalam setiap tahunnya jika pemerintah dan dunia usaha mampu bersinergi.
Namun pada 2012, Bali hanya mampu meraup devisa sebesar Rp40 triliun. Devisa itu diperoleh sejumlah akomodasi wisata, a.l dari maskapai, hotel dan restoran, agen perjalanan serta tourism interest.
Bagus Sudibya, Wakil Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia wilayah Bali, mengatakan Bali masih menjadi incaran destinasi wisata bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
“Namun pemerintah dan dunia usaha belum mampu bersinergi dengan baik,” katanya disela-sela acara Bedah Visi, Misi, & Rencana Aksi Cagub & Cawagub Bali dengan dunia usaha di Bali, Selasa (23/4).
Sinergi itu, lanjutnya, diklaim mampu mendatangkan devisa untuk bali dan Indonesia. Pemerintah, harus mampu mengaitkan pariwisata dengan bidang apapun. Pemerintah dan pariwisata harus mampu bersinergi dengan ekonomi, bidang pertanian, bidang sosial, dan yang lain sebagainya.
Dalam agenda yang tidak dihadiri Calon Gubernur Anak Agung Puspayoga, penggerak pariwisata ini mengklaim, sejumlah program dunia usaha dan pemerintah masih belum bersinergi dengan baik. Seperti halnya, promosi pariwisata dan pengembangan infrastruktur penunjang.
“Terkait sinergi, diharapkan pemerintah juga harus mampu bekerjasama dengan sejumlah asosiasi pengusaha seperti Kadin dan Apindo,” ujarnya seusai mendengarkan paparan visi dan misi dari pasangan incumbent, Made Mangku Pastika dan Sudikerta.
Sementara itu, Ida Bagus Ngurah Wijaya, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia wilayah Bali mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi yang mengatur tata cara menjalankan bisnis wisata di Pulau Dewata.
“Pariwisata di Bali sudah mengalami masalah yang cukup serius akibat belum adanya pengaturan dari pemerintah.”
Belum ada klasterisasi wilayah serta pengaturan yang mengikat pengusaha dalam menjalankan bisnis wisatanya. Saat ini banyak pengusaha hotel yang mulai mengubah pola bisnisnya dengan mengakomodasi kepentingan wisatawan untuk traveling.
Hotel banyak menjajakan paket perjalanan lengkap dengan hotel yang lazim menjaadi market travel agent. Bahkan, Asita pernah menemui pihak hotel yang ikut menjual paket tour.
“Padahal hotel sudah jelas porsinya, yang berhak jual paket tour itu travel agent.”
Selain turunnya okupansi akibat banyaknya hotel, lanjut Ngurah, tumpang tindih pola usaha dan berebut wisatawan ini lebih diakibatkan karena belum adanya regulasi yang jelas dari pemerintah.
Seharusnya, pemerintah mengatur minimal tugas, pokok dan fungsi bisnis sesuai dengan bidang masing-masing penyedia jasa.
Saat ini, pemerintah lebih cenderung hanya menekan pengusaha untuk meraup pajak yang sangat tinggi dari pengusaha wisata. Namun, pemerintah tidak kunjung memberikan solusi atas karut marut dunia usaha pariwisata di Bali.
“Satu masalah itu yang saat ini tengah menjerat pariwisata Bali,” paparnya.
Selain itu, papar Ngurah, pemerintah juga kurang tanggap atas laporan dari sejumlah asosiasi terkait pengusaha yang menjalankan bisnisnya secara serampangan.
“Banyak laporan yang sudah disusun berdasar pembuktian, namun sama sekali belum ada tindakan dari pemerintah.”
Ketua Association of Indonesian Travel Agent (Asita) Bali Ketut Ardana pun mengatakan hal yang sama.
Asita Bali mengaku penindakan terhadap maraknya agen perjalanan atau travel agent ilegal masih terkendala lemahnya infrastruktur penegakan hukum.
Penegakan untuk travel agent masih terkendala oleh law enforcement yang sangat lemah. Untuk travel agent online ilegal, Asita telah lapor ke pihak berwenang, tetapi belum ada tindakan jelas hingga kini.
“Asita, sebagai asosiasi nonprofit sama sekali tak miliki kewenangan hukum untuk menertibkan mereka (travel agent online) secara sepihak,” kata Ardana.
Data travel agent di Bali yang diduga ilegal sudah disodorkan kepada aparat penegak hukum. Namun belum ada tanggapan dan penindakan. Saat ini, usaha tidak berizin itu, makin banyak di Bali.
“Permasalahan ini tak akan selesai jika tak ada bantuan dari yang berwenang.”
Selain travel agent, bisnis usaha lain yang marak tanpa izin diketahui adalah hotel-hotel bujet yang kian menebar terror dengan perang tarif.
Kekecewaan Asita, tambahnya, ada beberapa kasus hotel yang menjual kamarnya lebih murah dibanding kesepakatan contract rate dengan travel agent.
“Jika ini terjadi, tentu saja kami akan merugi, kita juga ikut menjual kamar hotel dalam paket tour. Tapi kalau publish rate nya lebih rendah dari kesepakatan, itu tidak sehat,” paparnya.
Adapun Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengatakan perang tarif hotel dan perang destinasi antar negara harus diselesaikan bersama secara bijak sebelum kualitas sektor pariwisata diklaim menurun.
“Perang tarif hotel terjadi karena adanya over suplai dengan segmentasi yang sama.”
Perang tarif hotel di Bali, jelasnya, memang sudah lama terjadi, sehingga banyak hotel yang sudah ada sebelumnya khawatir kehilangan pelanggan mau tidak mau hotel tersebut menurunkan lagi harga hotel atau membuat promosi dengan kata lain produk akan laku jika dijual murah.