JAKARTA—Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dinilai sebagai proyek antitesis terhadap pembangunan pedesaan dan kedaulatan pangan karena perampasan lahan dan ruang hidup masyarakat yang terus terjadi.
Hal itu disampaikan dalam rumusah hasil konferensi ekonomi politik oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama dengan 19 organisasi sipil lainnya, akhir Februari lalu. Salah satu hasilnya memaparkan bahwa MP3EI mengancam kedaulatan tanah di wilayah pedesaan.
"MP3EI mengancam kedaulatan tanah, kedaulatan pangan rakyat yang seharusnya mampu memproduksi pangannya. Ini dengan cara merampas ruang hidup untuk perluasan usaha-usaha sektoral," demikian salah satu hasil konfrensi tersebut, seperti dalam situs KPA, Selasa (5/3/2013). "MP3EI semakin memperkecil kemungkinan tercapainya swasembada pangan."
Kelompok-kelompok sipil tersebut menyatakan perampasan lahan dan ruang hidup itu akan menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara kota dan desa serta meningkatnya kerusakan sumber daya alam. Menurut mereka, proyek jangka panjang tesebut justru bertentangan dengan semangan reformasi di bidang agraria dan pembangunan pedesaan.
MP3EI dalam dokumen resminya menyatakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara US$14.250 – US$ 15.500 dengan nilai total perekonomian berkisar antara US$4,0 – US$4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4% – 7,5% pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0% – 9,0%pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5% persen pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0% pada 2025.
Konferensi itu juga mencontohkan dengan apa yang telah terjadi di Merauke, Papua dengan proyek the Merauke Integrity Food and Energy Estate (MIFEE). lahan yang dibutuhkan diperkirakan mencapai 1,2 juta hektar-2,5 juta hektar. Organisasi sipil menilai pelbagai persoalan menyeruak di Papua terkait dengan program tersebut. Dalam koridor ekonomi Papua-Maluku disebutkan bahwa kedua wilayah itu akan menjadi pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan pertambangan nasional. Dan MIFEE adalah salah satu proyek yang termasuk dalam MP3EI.
"Melalui MIFEE, masyarakat Papua dipaksa untuk menerima penghancuran landasan hidup mereka yang dibangun di atas tanah atas nama pembangunan," demikian hasil konferensi tersebut. "Perempuan Papua menanggung dampak yang jauh lebih berat. MIFEE mencerabut akses dan kontrol mereka atas tanah serta sumber daya alam lainnya."