JAKARTA -- Tindakan ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil alih kewenangan Anas Urbaningrum tidak saja menjadi preseden buruk bagi proses demokrasi tapi juga bagi pengkaderan calon presiden di masa datang.
"Ini benar-benar preseden buruk. Bagaimana ketua majelis tinggi partai seolah-olah menangguhkan kewajiban konstitusional ketua umum parpol," kata Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis usai diskusi "Forum Legislasi" di Kompleks Parlemen, Selasa (12/2/2013).
Sebelumnya, SBY mengambil alih Ketum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dengan alasan untuk menyelamatkan partai dari citranya yang terus merosot berdasarkan hasil survei.
Menurut Margarito, apa yang dilakukan SBY tersebut justru telah merusak tatanan dinternal parpol. Apalagi, penggantian seorang ketum hanya dapat dilakukan melalui kongres atau kongres luar biasa.
"Sampai saat ini secara hukum Anas Urbaningrum itu tetap Ketum PD," kata Margarito.
Sebagai ketua umum, Anas punya wewenang menandatangani setiap calon anggota legislatif (caleg) yang akan diajukan Partai Demokrat. Aturan tidak mengenal Majelis Tinggi dalam penandatanganan caleg, ujarnya.
Dengan mengambil alih kewenangan Anas, Margarito menilai tindakan SBY tersebut sudah bernuansa monarki. Artinya, SBY sendiri sudah bertindak seperti raja dengan tidak mengindahkan AD/ART partai yang dia dirikan sendiri.
"Bagimana mungkin SBY ambil alih kewenangan itu karena sampai saat ini Anas belum ada kesalahan," kata Margarito.
Dia menambahkan kalau konflik internal Partai Demokrat itu berlanjut hingga April mendatang maka akan muncul persoalan baru berupa konflik dalam pencalonan anggota legislatif sementara.
Dengan konflik itu, Margarito menilai SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat malah bukan menyelamatkan partai, tapi sebaliknya semakin membuat partai itu terpuruk.