Kabar24.com, JAKARTA - Pemiskinan koruptor dianggap menjadi cara ampuh mencegah pelanggar hukum tersebut memasuki wilayah politik melalui pemilihak umum.
Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Lembaga Kemitraan mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir koalisi masyarakat sipil terus mendorong upaya pemiskinan koruptor.
Jika hal ini dilakukan, lanjutnya, publik tidak akan menemukan mantan narapidana korupsi yang berlaga di pemilihan umum baik kepala daerah maupun legislatif.
“Kekayaan koruptor terus bertambah dan bisa menjadi penyokong dia dalam pemilihan umum karena tidak pernah dirampas oleh negara,” ujarnya dalam diskusi Kebijakan Pemulihan Aset, Minggu (14/1/2018).
Menurutnya, harus ada upaya serius dari pemerintah dan masyarakat sipil untuk mencegah koruptor menjadi pemimpin di Indonesia sekaligus mengupayakan pemulihan aset akibat korupsi dengan menyita sebanyak mungkin aset-aset hasil kejahatan.
Lanjutnya, butuh kepemimpinan dan kemauan politik yang kuat dari Presiden Joko Widodo untuk melakukan upaya pemulihan dan perampasan aset.
Baca Juga
Jajaran pemerintahan serta penegak hukum, lanjutnya, butuh dorongan serta arahan dan langkah konkret agar fokus melakukan perampasan aset.
“Kalau Presiden sudah bilang bentuk Satgas di bawah Presiden yang khusus mengkoordinasikan perampasan aset. Kalau di bawah kementerian atau lembaga saya pikir tidak akan berjalan karena masih kuatnya ego sektoral,” lanjutnya.
Pihaknya melihat jika upaya ini diseriusi, pemerintah bisa mendapatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bahkan hingga Rp1000 triliun dari upaya perampasan aset ini, di samping mencari pemasukan dari sektor pajak.
Melajunya mantan narapidana korupsi ke gelanggang politik mencuat setelah Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan Abdul Latif dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan.
Komisi antirasuah mengimbau masyarakat untuk melihat rekam jejak sebelum memilih seorang kepala daerah dalam pemilihan umum.
Pasalnya, tidak sedikit politisi yang memiliki rekam jejak kelam dalam praktik korupsi, terpilih sebagai kepala daerah dan tertangkap tangan melakukan praktik korupsi oleh komisi antirasuah sebagaimana yang terjadi di Kabupaten tersebut.
Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan bahwa Abdul Latif yang baru dilantik setahun silam pernah terbelit kasus korupsi pada 2005-2006 saat masih berprofesi sebagai kontraktor.
“Saat itu dalam perkara pembangunan gedung sekolah menengah atas dengan nilai proyek Rp711,8 jutadan divonis 1,5 tahun,” ujarnya.
Setelah menyelesaikan masa hukuman, lanjutnya, Abdul Latif kemudian terpilih sebagai Anggota DPRD Kalimantan Selatan dan baru setahun menjabat, dia maju dalam pemilihan kepala daerah Hulu Sungai Tengah dan terpilih sebagai bupati untuk masa jabatan 2016-2021.
Baru setahun menjabat, Abdul Latif dicokok petugas KPK pada Kamis (4/1/2018). Ia diduga menerima uang sebesar Rp3,6 miliar dari kontraktor pembangunan ruangan perawatan kelas II, kelas I, VIP dan super VIP pada rumah sakit umum daerah setempat.
“Ini sekaligus menjadi peringatan kalau saat Pilkada, masyarakat harus melihat rekam jejak kandidat supaya bisa dipercayakan, amanah membangun daerah kepada orang yang tepat,” tutur Agus.
Uang sebesar Rp3,6 miliar tersebut merupakan komitmen fee 7,5% dari total nilai proyek pembangunan berbagai fasilitas rumah sakit. KPK menduga ada sejumlah proyek lain di kabupaten tersebut yang menggunakna modus serupa untuk mengeruk keuntungan pribadi.