Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Agung Brasil resmi menempatkan mantan Presiden Jair Bolsonaro menjadi tahanan rumah terkait dugaan rencana kudeta setelah kekalahan Bolsonaro dalam Pemilu 2022 dari Presiden Luiz Inácio Lula da Silva alias Lula.
Dikutip melalui Reuters, langkah tegas ini diambil oleh Hakim Agung Alexandre de Moraes di tengah meningkatnya tekanan internasional, termasuk sanksi dan tarif dagang baru dari Presiden AS Donald Trump, yang menuduh sistem hukum Brasil bertindak sewenang-wenang.
Bolsonaro, yang kini menghadapi sidang atas dugaan keterlibatan dalam rencana kudeta pascapemilu 2022, disebut berupaya menggulingkan hasil demokratis yang memenangkan Presiden Luiz Inacio Lula da Silva. Hakim Moraes menyatakan bahwa penahanan rumah diperlukan karena Bolsonaro melanggar perintah pengadilan sebelumnya, termasuk larangan komunikasi publik dan dugaan kolusi dengan Trump.
Hakim Moraes, yang pekan lalu dijatuhi sanksi oleh Departemen Keuangan AS atas tuduhan pelanggaran HAM dan kebebasan berekspresi, menyatakan bahwa Bolsonaro berulang kali mencoba menghindari perintah pengadilan.
“Keadilan itu buta, tapi tidak bodoh,” tegas Moraes dikutip melalui Reuters, Selasa (5/8/2025).
Bolsonaro kini dilarang menggunakan ponsel dan menerima tamu, kecuali pengacara atau orang-orang yang telah disetujui pengadilan. Kepolisian mengonfirmasi bahwa ponsel milik Bolsonaro disita saat penggeledahan di kediamannya di Brasilia.
Baca Juga
“Bolsonaro tidak pernah melanggar perintah pengadilan mana pun,” demikian bunyi pernyataan resmi dari tim kuasa hukumnya yang turut menyatakan akan mengajukan banding.
Presiden AS Donald Trump menyebut kasus Bolsonaro sebagai perburuan penyihir dan berjanji memberlakukan tarif tambahan 50% terhadap barang impor Brasil, efektif mulai Rabu (6/8/2025) ini. Trump bahkan mengancam akan menambah sanksi lebih lanjut terhadap Brasil bila pengadilan tetap melanjutkan proses hukum.
Departemen Luar Negeri AS mengkritik keras keputusan penahanan rumah, menyebutnya sebagai upaya untuk membungkam oposisi dan mengancam demokrasi. Namun, tidak ada rincian yang diberikan terkait bentuk pertanggungjawaban yang dijanjikan Washington terhadap pihak-pihak yang disebut membantu tindakan itu.
Pengamat politik Brasil dan juga profesor ilmu politik dari Universitas Federal Parana Graziella Testa menilai tekanan AS justru memperkuat posisi hukum Moraes.
“Ini bisa menjadi bumerang. Tindakan Trump malah memicu simpati publik terhadap pengadilan dan pemerintahan Lula,” ujarnya.
Meski menghadapi proses hukum dan larangan kampanye, Bolsonaro tetap memiliki basis pendukung kuat. Pada Minggu lalu, ribuan simpatisannya kembali turun ke jalan dalam aksi terbesar dalam beberapa bulan terakhir.
Dalam unjuk rasa di Rio de Janeiro, Bolsonaro bahkan “hadir” secara virtual melalui panggilan telepon kepada putranya, Senator Flavio Bolsonaro.
Langkah itu ditafsirkan oleh pengadilan sebagai upaya mengakali larangan komunikasi publik. Senator Flavio menyebut keputusan Moraes sebagai "balas dendam pribadi" atas sanksi AS.
“Ini bukan keadilan. Ini pembalasan dari seorang yang kini merasa punya dukungan internasional,” kata Flavio.
Kasus hukum Bolsonaro memiliki kemiripan mencolok dengan peristiwa di AS, khususnya kerusuhan Capitol 6 Januari 2021, pascakekalahan Trump.
Di Brasil, pendukung Bolsonaro menyerbu lembaga-lembaga negara di Brasilia pada Januari 2023 dalam upaya menggagalkan transisi kekuasaan. Investigasi selama dua tahun membuahkan dakwaan terhadap Bolsonaro dan sejumlah sekutunya.
Berbeda dengan kasus-kasus hukum Trump yang banyak mengalami penundaan, pengadilan Brasil bergerak cepat. Pengadilan pemilu bahkan sudah melarang Bolsonaro mencalonkan diri hingga 2030.
Putra Bolsonaro lainnya, Eduardo Bolsonaro, yang kini tinggal di AS, disebut aktif melobi pemerintah Trump untuk mengambil tindakan terhadap Brasil. Ia mengklaim telah berperan dalam memengaruhi keputusan tarif dari Gedung Putih.
“Moraes adalah psiko tanpa kendali,” tulisnya dalam pernyataan setelah penahanan ayahnya.
Para analis memperingatkan bahwa hubungan Brasil-AS berada di titik kritis. Leonardo Barreto dari Think Policy mengatakan bahwa Trump bisa menjadikan penahanan ini sebagai alasan eskalasi sanksi lanjutan, terutama setelah sanksi Magnitsky dikenakan terhadap Moraes.
“Ini bukan hanya persoalan hukum domestik, ini sudah menjadi krisis geopolitik,” ujarnya.