Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada Anomali Data Ekspor Feronikel RI dan China, Apa Kata ESDM dan Bea Cukai?

Ekspor feronikel RI ke China 2020-2024 alami selisih 1,41 juta ton, senilai US$400 juta. ESDM dan Bea Cukai selidiki perbedaan data dan potensi penyimpangan.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang di Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang di Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekspor feronikel dengan kode harmonized system (HS) 72026000 selama tahun 2020-2024 mencapai US$52,18 miliar. Bisnis mencatat terdapat gap antara data perdagangan feronikel yang terekam oleh Indonesia dan China. Selisih yang terlihat dari dua data tersebut mencapai 1,41 juta ton, dengan nilai lebih dari US$400 juta pada periode 2020-2024. 

Dua data dimaksud berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) RI dan General Administration of Customs of the People's Republic of China (GACC), atau Bea Cukai China.

Bisnis menemukan bahwa terdapat gap atau perbedaan antara feronikel yang diekspor dari Indonesia ke China, sebagaimana terekam oleh data BPS. Perbedaan itu apabila dibandingkan dengan data feronikel yang diterima oleh China dari Indonesia pada periode yang sama, sebagaimana terekam oleh Bea Cukai China. 

Padahal, dalam perdagangan internasional, suatu produk atau komoditas dipastikan memiliki Harmonized System Code atau HS Code yang berlaku sama dan di seluruh negara. Dalam hal ini, kode HS feronikel adalah 72026000.

Kendati demikian, data ekspor produk kode HS 72026000 dari Indonesia ke China berbeda dengan data impor atau yang diterima oleh China. Pada kurun waktu 2020-2024, total selisihnya mencapai 1,41 juta ton dengan nilai mencapai US$400 juta lebih. Pada kurun waktu lima tahun itu, jumlah yang diterima Negeri Panda lebih rendah dari yang dikirim Indonesia. 

Perinciannya, pada sepanjang 2024 saja, BPS mencatat bahwa Indonesia mengeskpor feronikel ke China sebanyak 9,1 juta ton. Nilainya mencapai US$13,2 miliar. 

Namun demikian, yang tercatat atau diimpor China berdasarkan data GACC sebesar 8,5 juta ton. Konsekuensinya, nilai yang diterima China juga menyusut ke US$12,7 miliar. Artinya, ada 563.272 ton feronikel yang tidak terekam atau hilang dari pendataan, dengan nilai sebesar US$547,2 juta. 

Secara tonase, data menunjukkan bahwa jumlah feronikel yang diterima China selalu lebih sedikit dari yang dikirim dari Indonesia. Meski demikian, tidak selalu nilai secara agregatnya juga ikut menyusut. 

Pada 2020, 2021 dan 2022, data menunjukkan feronikel yang diterima China secara agregat tetap lebih tinggi dari yang dikirim Indonesia meski lebih sedikit dari tonasenya. Pada 2020, atau saat pertama kali Indonesia memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel, China terdata hanya menerima 2,69 juta ton feronikel, ketika Indonesia mengirimkan 2,77 juta ton. 

Meski demikian, nilai yang terekam oleh Bea Cukai China lebih tinggi yaitu US$4,57 miliar. Itu berbeda tipis dengan yang terekam oleh BPS RI yaitu US$4,54 miliar. 

Pola yang sama juga terjadi pada 2021 dan 2022. Bahkan di 2021, gap antara data nilai ekspor feronikel pada BPS dan nilai impor pada GACC bahkan tembus US$611,9 juta. RI hanya mengirimkan feronikel senilai US$6,25 miliar ke China, sedangkan di seberang mencatat penerimaan hingga US$6,86 miliar. 

Untuk diketahui, feronikel adalah produk turunan dari bijih nikel. Jenis komoditas tambang dengan kode harmonized code atau HS Code 72026000 itu, banyak digunakan sebagai bahan pemadu untuk pembuatan baja tahan karat (stainless steel). 

Informasi yang dihimpun Bisnis menunjukkan bahwa, terjadinya gap antara jumlah ekspor dan impor produk turunan nikel itu terjadi dalam beberapa kondisi. Pertama, kemungkinan adanya perbedaan pencatatan antara otoritas di Indonesia dengan otoritas kepabeanan China.

Sejumlah dokumen yang diperiksa Bisnis memastikan bahwa kategorisasi untuk feronikel dan nikel matte antara China dan Indonesia sama. Feronikel di dalam catatan kepabeanan di Indonesia maupun China termasuk dalam kategorisasi barang dengan kode HS 72026000. 

Kedua, kemungkinan adanya abuse dalam proses eksportasi. Ada dugaan adanya kebocoran di tengah jalan dalam proses ekspor dari Indonesia ke China. Kondisi ini riskan, jika terjadi transaksi afiliasi yang melibatkan entitas sepengendalian atau grup perusahaan di negara lain. 

Ketiga, kemungkinan penghindaran pajak dan mengakali laporan devisa hasil ekspor yang diwajibkan oleh pemerintah mulai Maret 2025. Indikasi pelanggaran dalam kasus ini, biasanya terjadi ketika nilai ekspor yang dicatat negara asal lebih sedikit dibandingkan dengan nilai impor yang berada di negara tujuan.

Apa Kata ESDM dan Bea Cukai? 

Menanggapi atas selisih data tersebut, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan bahwa pencatatan pengiriman produk turunan nikel, sebagaimana komoditas lainnya, sesuai dengan izin ekspor yang dikeluarkan. 

Yuliot mengatakan, untuk menindaklanjuti temuan tersebut, pihaknya harus memastikan periode data itu terekam. Bisa jadi, dinamika harga produk feronikel menjadi pemicunya. 

"Bisa saja ini yang dilaporkan, ke kita ini harga jualnya, dilaporkan di China lebih tinggi dengan yang dilaporkan kita," ujarnya kepada Bisnis pada wawancara melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu jelang pertengahan Juni 2025. 

Kendati demikian, Yuliot tidak menampik apabila ada persoalan pada perbedaan data tersebut. Apalagi, kalau volume yang terekam di China lebih besar dilaporkan dibandingkan dengan Indonesia. 

"Ya berarti ini kan ada persoalan, ini pelaku usahanya menyalahi aturan. Ya ini kita harus cek kembali. Saya lagi cek dengan Dirjen Minerba. Kenapa itu ada perbedaan angka. Ini berdasarkan pencatatan BPS China sama BPS kita," ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Jasa Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto menuturkan bahwa pemerintah telah mengkategorikan nikel sebagai barang yang dikenakan larangan pembatasan alias lartas. Sehingga, untuk proses eksportasinya, selain harus mengantongi perizinan ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), komoditas nikel itu juga harus diuji oleh lembaga surveyor.

Artinya, setelah memperoleh izin dan pemeriksaan oleh surveyor, Bea Cukai hanya melakukan pengecekan dokumen dan  pencatatan, tanpa melakukan pemeriksaan secara fisik terhadap komoditas nikel yang akan diekspor ke luar negeri.

"Jadi kami hanya menjalankan tugas dan fungsi saja," ujarnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro