Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ramai-ramai Partai Politik Menentang Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu

Partai politik ramai-ramai menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pelaksanaan pemilu daerah dan nasional.
Sholahuddin Al Ayyubi, Annisa Nurul Amara
Selasa, 8 Juli 2025 | 07:30
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta. -Bisnis.com/Samdysara Saragih
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta. -Bisnis.com/Samdysara Saragih

Bisnis.com, Jakarta — Partai politik ramai-ramai menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pelaksanaan pemilu daerah dan nasional.

Seluruh partai politik tengah mengkosolidasikan sikapnya terhadap putusan tersebut. Mayoritas partai menentang tentang putusan tersebut. 

Pasalnya, putusan MK tersebut dinilai telah bertentangan dengan konstitusi karena menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.

Ketua Fraksi PKB pada MPR, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz berpandangan bahwa UUD 1944 merupakan konstitusi tertinggi di Indonesia. Maka dari itu, menurutnya, setiap undang-undang atau peraturan hukum di bawahnya harus menyesuaikan UUD 1945.

"Di pasal 22E UUD 1945 ayat 1 jelas disebut pemilu dilaksanakan secara LUBER setiap lima tahun sekali. Ayat 2 juga menyebutkan pemilu diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wapres, dan DPRD, jadi jelas dasar hukumnya. Tidak boleh ada aturan yang tidak sesuai dengan ini," tuturnya di Jakarta, Senin (7/7).

Wakil Sekjen DPP PKB itu juga mengatakan salah satu tugas MPR adalah menyerap aspirasi masyarakat, utamanya berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Maka dari itu, PKB menilai bahwa putusan MK tidak sesuai dengan UUD 1945.

“Saat ini Fraksi PKB MPR masih mendalami putusan MK yang dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945, karena itu putusan ini perlu ditindaklanjuti agar tidak terjadi krisis ketatanegaraan,” kata Eem.

Di lain pihak, Politisi sekaligus legislator Nasdem, Rifqinizamy Karsayuda menilai Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan kualitasnya usai mengeluarkan putusan terkait dengan pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal.

Dia mengatakan seharusnya tugas MK hanya sampai di titik menilai suatu norma undang-undang saja soal apakah itu konstitusional atau inkonstitusional, sehingga tidak sampai membentuk suatu norma tertentu.

“Mahkamah men-downgrade dirinya dari yang harusnya hanya menilai satu norma undang-undang terhadap undang-undang dasar apakah bersifat konstitusional atau inkonstitusional, menjadi mahkamah yang membentuk norma,” singgungnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (7/7/2025).

Padahal, ujarnya, DPR yang sebenarnya memiliki kewenangan sebagai pembentuk undang-undang atau norma, karena memiliki konteks open legal policy.

“Kemudian [MK] mengambil alih dalam tanda kutip tugas konstitusional kami, Presiden dan DPR, untuk membentuk norma,” ucapnya.

Untuk itu, legislator Nasdem ini menegaskan bahwa sebagai anggota Fraksi Nasdem dirinya ingin menegakkan prinsip-prinsip konstitusionalitas itu.

Lebih lanjut, Rifqi pun menekankan sikap partai NasDem terhadap putusan MK ini adalah bila ditindaklanjuti maka itu adalah bagian dari pelanggaran konstitusi itu sendiri.

Sepemahamannya pula, imbuh dia, dalam konteks teori hukum data negara dan hukum konstitusi putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Sebab itu, dia memandang bila ada judicial review (JR) lagi, maka putusan MK itu sifatnya jadi tidak final dan mengikat.

“Dan itulah yang sekarang menjadi kritik kami terhadap MK. Satu objek yang sama itu bisa diputus berkali-kali dengan putusan yang berbeda,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Dede Yusuf mengatakan Fraksi Demokrat di DPR masih menunggu waktu untuk rapat bersama antar fraksi guna membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal.

Namun demikian, dia yakin bahwa semua partai pasti sudah mulai mendiskusikan hal tersebut. Pasalnya, ujar dia, Demokrat juga sudah membicarakan putusan MK itu.

Dia melanjutkan, hasil diskusi itu nantinya akan disampaikan langsung oleh Ketua Fraksi Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono dalam diskusi antara pimpinan DPR dengan ketua-ketua fraksi lainnya.

Lebih lanjut, Dede menerangkan pada prinsipnya respons terhadap putusan MK ini terbagi menjadi pro dan kontra. Bagi yang pro, merasa memang pemilu harus dipisah karena memilih lima kotak secara langsung dapat membuat pemilih kebingungan.

Kemudian, lanjutnya, bagi yang pro juga merasa bahwa pemilu memang benar harus dibagi antara pusat dan daerah. Untuk pusat itu konteksnya secara keseluruhan. Sementara, untuk daerah khusus bagi kepala daerah dan parlemennya alias DPRD.

“Nah yang kontra, ini yang berbicara tentang bahwa Mahkamah Konstitusi itu melebihi kewenangannya dengan membuat norma. Padahal mustinya mengevaluasi norma,” ujar Dede.

Dengan demikian, Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini menekankan bahwa pro kontra ini tentu harus segera dipertemukan titik temunya. Namun, dia masih menunggu undangan rapat bersama antar fraksi dengan pimpinan DPR.

“Kami, dari Komisi II pada prinsipnya adalah akan menjalankan mandat yang nanti diturunkan oleh pimpinan DPR setelah melakukan pertemuan dengan partai-partai,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper