Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal 1/2025 masih jauh di bawah ekspektasi. Ekonomi tumbuh melambat di angka 4,87%. Selain itu, struktur ekonomi yang rapuh serta besarnya porsi pekerja informal membayangi target dan pencapaian ekonomi selanjutnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), setidaknya mencatat bahwa, kontribusi sektor industri pengolahan ke produk domestik bruto alias PDB tidak pernah menembus angka 20%. Per kuartal 1/2025 lalu, kontribusi manufaktur ke PDB hanya 19,25% atau turun dibandingkan kuartal 1/2024 mencapai 19,28%.
Padahal, sektor manufaktur menjadi tumpuan ekonomi sekaligus sebagai bumper dalam menghadapi bonus demografi yang akan terjadi dalam beberapa tahun lagi. Pelambatan kinerja manufaktur tentu akan mempengaruhi daya serap tenaga kerja ke depan.
Saat ini, mengacu data BPS, jumlah angkatan kerja pada Februari 2025 mencapai 153,05 juta. Jumlah itu terdiri dari 145,7 juta penduduk bekerja dan penduduk yang menganggur alias pengangguran 7,8 juta.
Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah, proporsi jumlah tenaga kerja yang bergerak di sektor formal cenderung mengalami penurunan pada Februari 2025. BPS mencatat bahwa penduduk yang bekerja di sektor informal sebanyak 86,58 juta atau 59,4%, sedangkan yang bekerja formal hanya 59,19 juta atau 40,6%.
Baca Juga
Persentase pekerja sektor formal itu mengalami penurunan sebanyak 0,23 basis poin jika dibandingkan dengan posisi Februari 2024 yang tercatat sebanyak 40,83%.
Tren kenaikan jumlah pekerja informal itu juga tampak jika melihat status para pekerja. Pada Februari 2025, persentase pekerja yang berstatus sebagai buruh, karyawan atau pegawai turun menjadi 37,08%. Padahal pada Februari 2024 lalu, persentasenya sebanyak 37,31%.
Sementara itu, jumlah penduduk yang berstatus berusaha sendiri atau wiraswasta, persentasenya dari 20,47% pada Februari 2024 menjadi 20,58 pada Februari 2025. Kenaikan juga terjadi terhadap penduduk yang berstatus sebagai buruh tidak tetap, pekerja keluarga atau tidak dibayar dari 15,78% (2024) menjadi 16,04% (2025).
Badai PHK di Depan Mata
Di tengah ketidakpastian pasar tenaga kerja, ancaman pemutusan hubungan kerja alias PHK justru berada di depan mata. Semua sektor baik itu padat karya hingga perusahaan-perusahaan penyedia informasi dan komunikasi, secara rutin mengurangi jumlah pekerja mereka.
Selain itu sejumlah perusahaan global, seperti Panasonic hingga Nissan, telah secara terbuka akan mengurangi jumlah pekerjanya di seluruh dunia.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkap korban pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 24.036 orang hingga 23 April 2025. Jawa Tengah, Daerah Khusus Jakarta, dan Riau menjadi provinsi dengan kasus PHK terbanyak sepanjang 2025.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengungkap, jumlah PHK hingga April 2025 sudah mencapai sepertiga dari total kasus PHK yang terjadi di 2024 yang kala itu sebanyak 77.965 orang.
“Saat ini sudah terdata adalah sekitar 24.000, jadi sudah sepertiga lebih dari 2024,” kata Yassierli dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senin (5/5/2025).
Yassierli mengungkap bahwa kasus PHK paling banyak terjadi di sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta aktivitas jasa lainnya.
Dia kemudian menjelaskan berbagai faktor yang memicu PHK di Indonesia. Menaker menyebut, setidaknya ada tujuh faktor dominan yang menyebabkan PHK.
Pertama, kata dia, karena perusahaan mengalami kerugian atau tutup imbas kondisi pasar dalam negeri maupun luar negeri yang menurun. Kedua, relokasi usaha karena alasan tidak mampu bersaing dan mencari daerah yang upah minimumnya lebih rendah.
Ketiga, terjadi kasus perselisihan hubungan industrial karena pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh, yang berujung pada PHK terhadap pengurus serikat pekerja/buruh.
Keempat, tindakan balasan pengusaha akibat mogok kerja. Kelima, alasan efisiensi untuk mencegah kerugian. Keenam, kebijakan transformasi perusahaan. Ketujuh, pailit atau dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
“Jadi penyebabnya beragam. Ketika ditanya mitigasi seperti apa tapi kita harus lihat case by base,” ujarnya.
Satgas PHK Kapan Muncul?
Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengatakan, draft pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) telah memasuki tahap finalisasi.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyampaikan, penyusunan draft pembentukan Satgas PHK melibatkan lintas kementerian/lembaga. Dari sisi Kemnaker sendiri, kata dia, rumusan Satgas PHK sudah rampung dilakukan.
“Satgas PHK itu draftnya sudah ada di Menko, karena ini kan lintas kementerian jadi bukan hanya kami. Nah tunggu aja, tunggu hasil akhirnya seperti apa,” kata Yassierli saat ditemui di Kantor BPJS Ketenagakerjaan, Jakarta Selatan, Kamis (8/5/2025).
Dia mengatakan, proses finalisasi draft pembentukan Satgas PHK akan dilakukan oleh Kemenko Perekonomian. “Ini sekarang sedang finalisasi di Kemenko [Perekonomian],” ujarnya.
Dalam catatan Bisnis, Yassierli sebelumnya menyebut bahwa draft Satgas PHK tingal menunggu keputusan dari Presiden Prabowo Subianto apakah nantinya draft tersebut akan diterbitkan dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) atau bentuk lainnya.
“Draftnya dari kita sudah hampir selesai ya, kita tunggu dari istana nanti, gongnya seperti apa,” kata Yassierli saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (5/5/2025).
Yassierli mengatakan, sesuai dengan permintaan Kepala Negara dalam acara sarasehan ekonomi, serikat pekerja/buruh, pengusaha, kementerian/lembaga, dan akademisi dapat terlibat dalam Satgas PHK.
Sementara itu, dia mengharapkan agar Satgas PHK dapat memiliki fungsi yang lebih luas, tidak hanya di hilir tetapi juga merambah ke hulu. Misalnya kata dia, memiliki fungsi untuk mengantisipasi PHK dan kepastian perluasan lapangan kerja di Indonesia.