Bisnis.com, JAKARTA -- Peristiwa tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 terjadi telat 4 tahun lalu di Laut Bali. Insiden ini menyebabkan seluruh prajurit yang ada di dalamnya gugur. Duka menyelimuti dunia militer dan publik Indonesia pada waktu itu.
Rabu (21/4/2021) jelang subuh, tepatnya pukul 03.46 WITA, sea rider monitor periskop dan lampu tanda pengenal KRI Nanggala-402 meredup. Sejam berlalu, tak ada jawaban ketika ada panggilan dari pusat komando. Komunikasi pun terputus.
Sesaat kemudian, helikopter TNI Angkatan Laut (AL) dari KRI I Gusti Ngurah Rai ditugaskan melakukan pendeteksian. Heli pun berputar-putar di perairan laut Bali. Setelah sekian jam, hasilnya nihil.
Sesuai standar, tahapan demi tahapan pun dilakukan oleh TNI Angkatan Laut (AL) untuk pencarian KRI Nanggala-402 yang hilang kontak. Mulai dari fase sublook (pencarian), submiss (hilang), hingga fase subsunk (tenggelam).
Upaya pencarian dilakukan dengan melibatkan 21 KRI dan beberapa pesawat terbang milik TNI. Sejumlah negara pun ikut terlibat menyisir laut Bali. Mulai dari angkatan laut Singapura, China, Malaysia, Australia, India hingga Amerika Serikat.
Selang 3 hari kemudian, Kepala Staf AL Laksamana TNI Yudo Margono mengumumkan kapal selam dinyatakan tenggelam di kedalaman 850 meter pada Sabtu (24/4/2021). Fase subsunk ditetapkan karena batas akhir live support atas ketersediaan oksigen untuk personel kapal habis setelah 72 jam.
Baca Juga
Indikator selanjutnya, selama proses pencarian, ditemukan barang-barang yang diduga dari KRI Nanggala-402. Berupa pelurus tabung torpedo, pembungkus pipa pendingin, dan botol orange pelumas periskop kapal selam, serta alat salat dan spons untuk menahan panas pada freshroom.
Minggu (25/4/2021), empat hari sejak hilang kontak, kapal selam naas itu ditemukan lokasinya. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun mengumumkan 53 personel kapal selam tersebut gugur.
Mereka gugur bersama kandasnya Nanggala-402. Lokasi kapal berada di kedalaman 838 meter. Dalamnya setara dengan menara tertinggi di dunia, Burj Khalifa, Dubai. Tragisnya, bangkai kapal terbelah menjadi tiga bagian.
Tragisnya, bangkai kapal terbelah menjadi tiga bagian.
Sebelum penemuan itu, spekulasi sempat bermunculan mengenai penyebab tenggelamnya kapal selam yang mulai dibuat pada 1977 itu. Soal kelaikan kapal hingga unsur kesalahan manusia menjadi bahan dugaan Nanggala-402 karam.
Kapal selam yang sempat membawa misi intelijen ke Samudera India pada 1992 itu, disinyalir sempat mengalami black out sebelum dinyatakan hilang. Black out adalah peristiwa listrik padam sehingga mengganggu seluruh operasional kapal, termasuk alat komunikasi dan radar.
Menurut pengakuan mantan awak kapal selam tersebut, peristiwa black out pernah terjadi karena sekring listrik lepas akibat guncangan arus di dalam laut. Namun waktu itu, peristiwa black out bisa diatasi.
Pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan bahwa KRI Nanggala-402 masih layak beroperasi meskipun sudah berusia 40 tahun. Kapal itu sudah diperbarui (refurbish) pada 2012 di Korea Selatan.
Prosesnya dengan memperbaiki bagian lambung kapal selam yang bertekanan (ballast) dilepas, dan dipasang kembali. Data lain menyebutkan perbaikan termasuk sistem persenjataan, sonar, radar, kendali tempur, dan propulsi dimutakhirkan.
Setelah perbaikan, KRI Nanggala mampu menembakkan empat torpedo secara bersamaan menuju empat target yang berbeda. Kapal itu juga mampu meluncurkan misil antikapal seperti Exocet atau Harpoon.
Selain itu, kedalaman menyelam bertambah menjadi 257 meter (843 ft) dan kecepatan maksimum dinaikkan dari 21,5 knot (39,8 km/h) menjadi 25 knot (46 km/h).
Sebelum diserahkan kembali ke TNI AL, kapal itu diuji coba penyesuaian komponen untuk beradaptasi saat dioperasikan. Uji coba dengan cara direndam di laut pada kondisi normal di kedalaman 200-300 meter.
Daya selam pada mode tempur, KRI Nanggala bisa mencapai 2,5 kali kedalaman batas normal. Artinya, KRI Nanggala-402 bisa menyelam hingga kedalaman 500-600 meter.
Kegagalan Perbaikan Nanggala
Yang menarik adalah pernyataan Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin. Dia menduga tenggelamnya KRI Nanggala 402 terkait dengan kegagalan sejumlah perbaikan (retrofit), termasuk yang terakhir dikerjakan oleh tim dari Korsel.
Dia pun meminta agar kapal selam sejenis, yakni KRI Cakra 401 dihentikan beroperasi (grounded). Menurutnya, saat retrofit pada 2012 di Korsel menghabiskan anggaran sekitar US$75 juta atau sekitar Rp1,05 Triliun.
"Retrofit itu bukan sekadar mengganti suku cadang, tapi diperkirakan juga ada perubahan konstruksi dari kapal selam tersebut terutama pada sistem senjata torpedonya," ujarnya dalam siaran pers.
Hasanuddin pun menyoroti jumlah kru KRI Nanggala 402 yang melebihi kapasitas dari seharusnya 38 orang. Korban 53 menjadi peristiwa kecelakaan kapal selam terburuk ketiga dalam 20 tahun terakhir.
“Ada apa kok dipaksakan? Saya juga mendapat informasi bahwa saat menyelam KRI Nanggala 402 diduga tak membawa oksigen gel, tapi tetap diperintah untuk berlayar," kata politisi berpangkat terakhir Mayjen Purnawirawan itu.
Saya juga mendapat informasi bahwa saat menyelam KRI Nanggala 402 diduga tak membawa oksigen gel, tapi tetap diperintah untuk berlayar.
Namun, Panglima TNI bersama Kepala Staf AL membantah ada unsur kesalahan manusia terkait dengan tenggelamnya kapal selam tersebut. Menurut mereka, KRI Nanggala-402 karam karena faktor alam.
Yang jelas, peristiwa ini semakin menambah rentetan peristiwa kecelakaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) milik TNI. Dalam setahun terakhir, ada tiga peristiwa naas yang menyebabkan puluhan korban meninggal dari personel militer.
Narasi Institute mencatat terdapat 16 kecelakaan alutsista TNI di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), termasuk tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402. Ke-16 kecelakaan itu terjadi dalam rentang tahun 2015 sampai 2021.
Berkaca dari hal ini, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat MPP menyampaikan banyak hal yang perlu dievaluasi dari sistem pertahanan Indonesia, mulai dari political will, umur alutsista dan perencanaan sumber anggaran pertahanan keamanan Indonesia.
“Pemerintah bisa memprioritaskan anggaran kementerian tertentu di saat pandemi 2020 - 2021, juga seharusnya bisa memprioritaskan anggaran alutsista 2021 - 2022 sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemulihan ekonomi dan ketahanan nasional” katanya dalam siaran pers, Senin (26/2/2021).
Dia meminta, pemerintahan menyikapi tragedi tenggelamnya KRI Nanggala-402 secara serius. Dia berharap musibah sejenis tidak perlu terulang lagi kedepannya.