Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sritex Bangkrut, Bencana Industri Padat Karya, Bisa Ganjal Ambisi Tumbuh 8%?

Bangkrutnya Sritex memicu gelombang PHK besar-besaran. Jika tidak tertangani, tren penurunan kinerja industri padat karya bisa mengganjal ambisi tumbuh 8%.
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

Bisnis.com, JAKARTA -- PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex tumbang. Perusahaan resmi dinyatakan berstatus bangkrut atau insolvensi pada Jumat (28/2/2025) lalu. Status itu mengakhiri kiprah emiten tekstil berkode SRIL selama 58 tahun. Sritex kemudian berhenti permanen 1 Maret 2025.

Terlepas dari drama kepailitan yang berlangsung kurang lebih 5 bulan terakhir, runtuhnya Sritex menjadi alarm dini bagi pemerintah untuk membenahi sektor manufaktur. Manufaktur adalah urat nadi perekonomian. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto alias PDB paling tinggi dibandingkan sektor perekonomian lainnya.

Sayangnya, data Badan Pusat Statistik alias BPS justru menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur terus melemah dan selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2022, misalnya, pertumbuhan sektor manufaktur masih di angka 4,89%. Namun setelah itu, pada tahun 2023 melambat ke angka 4,64% dan tahun 2024 jatuh ke angka 4,43%.

Kinerja Manufaktur 2022-2024

Tahun Pertumbuhan Kontribusi Serapan Pekerja
2022 4,89 18,34 14,71
2023 4,64 18,67 13,83
2024 4,43 18,98 13,83

Sumber: BPS, dalam persen, data pekerja per Agustus 2022-2023

Tahun 2022 sengaja dipakai titik poin alias turning point untuk menilai kinerja industri, karena pada waktu itu Indonesia sedang dalam tahap pemulihan pasca pandemi Covid-19. Persoalannya, kendati pada tahun 2022 mampu tumbuh hampir 4,9%, tahun-tahun setelah itu, pertumbuhannya justru melambat.

Tidak hanya dari sisi pertumbuhan, share manufaktur ke PDB juga berangsur menyusut. Kalau tahun 2022 - 2024 kontribusi manufaktur ke PDB masih stagnan di angka 18%. Memang ada penguatan kinerja dalam kurun waktu tersebut. Namun jika dibandingkan dengan tahun 2021, misalnya, kontribusi manufaktur ke PDB masih mencapai 19,24%. Tahun 2020, meski pada waktu itu dihantam pandemi, kontribusi manufaktur ke PDB masih bisa mencapai 19,87%.

Kondisi yang terjadi di Indonesia seperti agak berbanding terbalik dengan Vietnam yang begitu ekspansif. Industri mereka berkontribusi di kisaran 23-24% (data World Bank). Negari Paman Ho itu sedang berada tahap industrialisasi. Aliran investasi ke Vietnam mengucur deras. Apple, misalnya, telah berinvestasi sebanyak Rp256 triliun ke Vietnam. Kontras dengan Indonesia yang hanya di angka Rp2,6 triliun. Itupun masih komitmen. 

Tak heran, dengan kinerja sektor industri dan manufaktur yang cukup atraktif, pertumbuhan ekonomi Vietnam pada tahun 2024 lebih dari 7% year on year. Sesuatu yang masih di dalam angan dan belum pernah dicapai oleh Indonesia sejak era reformasi. 

Sekadar catatan, kalau mengacu kepada data Bank Dunia, Indonesia memang pernah mencapai pertumbuhan di atas 7%, tetapi itu terjadi pada era Orde Baru. Pada tahun 1968, pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan mencapai 10,9%. Tahun 1996 atau setahun tahun sebelum krisis ekonomi dan 2 tahun sebelum reformasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di angka 7,8%. 

Sementara itu, sejak reformasi bergulir, Indonesia belum pernah mencapai pertumbuhan di level 7%. Paling banter hanya di angka 6,3% pada tahun 2007. Itupun salah satunya karena booming komoditas. Namun setelah itu, ekonomi Indonesia berangsur menyusut, hingga sekarang stagnan di kisaran 5%.

Pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), sejatinya harapan untuk membenahi struktur produk domestik bruto (PDB) mulai tampak. Konektivitas menjadi salah satu pintu. Sejumlah terobosan pembiayaan dilakukan, salah satunya dengan merasionalisasi subsidi energi. Pemerintah waktu itu, mengalihkannya ke infrastruktur.

Jalan tol dibangun. Pusat industri juga mulai direvitalisasi. Di Jawa Tengah, tempat yang relatif tertinggal dibandingkan Jawa Barat dan Jawa Timur, dibangun tempat-tempat industri. Kawasan Industri Terpadu Batang dan Kawasan Industri Kendal, adalah dua contohnya.

Selain itu, pada tahun 2019, atau di akhir jabatan periode pertamanya, Jokowi juga menerbitkan Peraturan Presiden No.79/2019 dan Perpres No.80/2019 yang berisi blueprint pengembangan sejumlah kawasan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun beleid itu belum juga berlaku optimal, pandemi Covid-19 menyerang. Proyek banyak yang tertunda.

Sejak pandemi dan politik akomodasi yang berlangsung selama periode ke 2 Jokowi, progres pengembangan ekonomi di dua wilayah itu hanya terdengar sayup-sayup. Satu lagi, kebijakan politik pemerintah pada waktu itu, mengarah ke program-program populis antara lain, bantuan sosial dan tetek bengeknya meroket cukup signifikan. Nilanya Rp476 triliun.

Realisasi investasi 2024./BKPM
Realisasi investasi 2024./BKPM

Selain kebijakan populis, arah industrialisasi pada periode kedua pemerintahan Jokowi adalah hilirisasi atau penghiliran produk tambang dan sektor berkembangnya teknologi dan informasi. Hal ini terbukti dari data realisasi investasi tahun 2024 yang menunjukkan bahwa kedua sektor itu cukup dominan.

Industri logam dasar dan barang logam misalnya, realisasi investasinya sebanyak Rp238,4 triliun. Sektor ini menempati peringkat pertama. Sementara itu, sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi berada di peringkat kedua dengan total realisasi investasi sebanyak 189,8 triliun. 

Kedua sektor ini padat modal. Namun tidak cukup signifikan untuk menyerap tenaga kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diperbarui pada tanggal 5 Februari 2025, mencatat bahwa, proporsi tenaga kerja manufaktur terus menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jumlahnya hanya di angka 13,83% atau stagnan dibandingkan dengan tahun 2023. Padahal pada tahun 2022 lalu, proporsinya mencapai 14,17%.

Proporsi pekerja di sektor industri logam dasar hanya 0,16% dari total proporsi pekerja manufaktur yang sebanyak 13,83%. Jika jumlah penduduk yang berkerja sebanyak 144,64 juta, maka orang yang bekerja di sektor manufaktur sekitar 20 juta. Artinya jika proporsi industri logam dasar hanya menyumbang 0,16%, serapan pekerjanya hanya sebanyak 32.000.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan industri makanan minuman alias mamin yang tahun 2024 lalu realisasi investasinya sebanyak Rp117,87 triliun, tetapi memiliki kontribusi ke proporsi pekerjaan hingga 4% atau kalau 800.000 orang. 

Dengan kondisi tersebut, sudah sepatutnya, pemerintah mulai membenahi sektor industri padat karya yang mulai kembang kempis. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto memiliki target pertumbuhan ekonomi cukup ambisius di angka 8%. Tanpa pembenahan dari sisi industri manufaktur, target tersebut muskil untuk dicapai. Apalagi, Indonesia akan menghadapi bonus demografi. 

Saat ini total populasi penduduk Indonesia sebanyak 281,3 juta. Jumlah penduduk yang bekerja hanya di angka 144,64 juta. Pada tahun 2030 nanti, populasi penduduk akan mencapai 297 juta dengan 64% di usia produktif.

Namun demikian, adanya gejala deindustrialisasi dini, banyaknya pabrik yang tutup entah karena pailit maupun relokasi industri, hingga badai pemutusan hubungan kerja massal, menjadi alarm bagi pemerintah. Pengembangan industri padat karya perlu diperhatikan secara serius. Supaya bonus demografi tidak menjadi bencana demografi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper