Bisnis.com, JAKARTA - Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 5—7 Februari menghasilkan berbagai keputusan penting terkait isu-isu sosial, keagamaan, kebangsaan, dan lingkungan.
Di antara keputusan yang disepakati dalam Munas tersebut adalah hukum kepemilikan laut atas nama individu maupun perusahaan. Menurut PBNU, tidak sepatutnya dan haram hukumnya bila negara mengeluarkan sertifikat kepemilikan laut atau Hak Guna Bangunan (HGB) di kawasan laut untuk segelintir pihak.
Bagi NU, kewenangan negara hanya sebatas memberikan izin pemanfaatan laut untuk kepentingan tertentu dan temporal. Semisal, izin untuk perikanan maupun pariwisata dengan syarat pihak pengelola harus bertanggung jawab dan memperhatikan asas-asas pemanfaatan laut yang berkeadilan, berkelanjutan, dan tidak merugikan masyarakat maupun mencemari lingkungan.
Pandangan fiqh kelautan yang ditegaskan oleh PBNU menjadi autokritik bagi pemerintah yang selama ini telah abai dan cenderung mengobral izin pengaplingan laut melalui sistem kepemilikan tetap maupun HGB. Keberadaan laut yang sejatinya menjadi milik bersama (mal al musytarak) dan pengelolaannya sepenuhnya berada di bawah kewenangan negara, justru beralih fungsi menjadi milik perseorangan dan perusahaan.
Dalam kaitan ini, pesan moral dan peringatan NU tersebut selaras pula dengan ketentuan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikenal sebagai United Convention on the Law of The Sea (UNCLOS). Ketentuan konvensi laut ini ditandatangani pada 10 Desember 1982 dan berlaku pada 16 November 1994. Melalui konvensi ini, semua negara, termasuk Indonesia harus tunduk pada peraturannya.
Di antara peraturan yang ditegaskan dalam konvensi ini “Negara kepulauan memiliki kedaulatan sendiri atas wilayah laut, ditentukan oleh garis lurus yang ditarik di titik terluar pulau. Negara dapat menentukan jalur laut dan rute udara yang bisa dilintasi oleh negara asing. Negara yang memiliki perbatasan langsung dengan laut, bisa menetapkan ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil”.
Baca Juga
MODUS PENGAPLINGAN
Mengacu pada konvensi laut yang dikeluarkan oleh UNCLOS tersebut, maka suara kritis NU yang menegaskan pentingnya pelestarian kedaulatan laut dan penggunaannya harus di bawah kendali negara, patut dijadikan sebagai rekomendasi kebijakan oleh pemerintah di era presiden Prabowo. Hal ini penting diperhatikan agar berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan perairan dan kelautan tidak terjebak dan terlibat dalam mal administrasi pengaplingan laut yang melanggar Undang-undang dan konvensi laut UNCLOS.
Di samping itu, nalar epistemologis NU yang menyuarakan pentingnya keberadaan laut sebagai mal al musytarak yang terikat dengan kuasa negara menjadi prevensi in optima forma agar modus penyelewengan kelautan tidak makin menggurita.
Sebab, sebagaimana yang tersiar di berbagai kanal informasi, akhir-akhir ini telah terjadi kasus peralihan pengelolaan laut secara sepihak. Di antara kasus yang sangat menyita perhatian publik adalah penerbitan 263 sertifikat HGB dan 17 sertifikat hak milik (SHM) di wilayah pagar laut di kabupaten tangerang, banten
Demikian pula, di pesisir utara kabupaten Bekasi ada bentangan pagar laut seluas 2,5 ha dan 419,6 ha yang telah dikapling dua perusahaan besar sejak 2012 hingga 2017. Tak terkecuali di perairan laut lainnya seperti di Sidoarjo, Makasar, Sumenep Madura, dan berbagai daerah lainnya yang mengalami perlakuan kezaliman pengaplingan laut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ada berbagai modus pengaplingan yang lazim mereka lakukan. Pertama, melalui modus abrasi yang dijadikan sebagai argumen para pelaku untuk bisa mengakali berbagai aturan dan bermain mata dengan pemerintah setempat agar memproses sertifikasinya.
Kedua, mengembangkan narasi awal mula perairan yang dahulunya berbentuk daratan yang berstatus tanah musnah karena abrasi. Dengan alasan tersebut, para pelaku melakukan reklamasi untuk memudahkan proses sertifikasinya.
Ketiga, penerbitan HGB dengan berlindung di bawah naungan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja (Omnibus Law). Melalui dalih hukum ini, berbagai ketentuan dalil tentang investasi pemerintah pusat dan percepataan proyek strategis nasional digunakan kedok untuk pengaplingan laut.
Menyikapi berbagai modus pengaplingan perairan dan kelautan, baik yang dilakukan dengan dalih pengaburan data perairan laut maupun berlindung di bawah Omnibus Law, semua pihak yang berwenang dalam mengatasi isu perairan dan kelautan harus saling bersinergi.
Setidaknya, tindakan berani pencabutan pagar laut dan pembatalan sertifikat laut yang diprakarsasi oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid ini perlu dikawal bersama agar ke depan tidak terjadi perilaku maladministrasi pengelolaan laut.
Sinergitas antar pihak yang berwenang tersebut akan menjadi modal daya kejut (shock theraphy) bagi pihak perusahaan maupun perorangan yang selama ini cenderung dan gemar melakukan pagar laut yang berujung pada tindakan privatisasi atau dalam istilah yang lebih sarkastis perampasan ruang laut (ocean grabbing).
Selain itu, keterlibatan antarpihak seperti KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan, ombudsman, dan pihak lainnya yang saling memantau dan menjaga kedaulatan laut, maka laut sebagai mal al musytarak tidak dikooptasi oleh segelintir orang maupun perusahaan.
Semoga keputusan Munas NU tahun 2025 yang senapas dengan konvensi laut yang ditetapkan oleh UNCLOS PBB 1982 menjadi bahan refleksi bagi presiden Prabowo agar jajaran kabinet dan lembaga kepemerintahan lainnya agar saling menjaga kedaulatan laut.