Bisnis.com, JAKARTA — Perwira TNI - Polri baik yang masih aktif maupun purnawirawan menduduki jabatan strategis di pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Keberadaan tentara aktif dalam pemerintahan Prabowo seperti Mayor Teddy Indra Wijaya dan Direktur Utama Bulog Letjen TNI Novi Helmy Prasetya, misalnya, sempat dikritik karena dianggap melanggar batas-batas yang diatur dalam Undang-undang Tentara Nasional Indonesia alias TNI.
Tak hanya itu, beberapa tokoh militer, sebagian sudah purnawirawan, yang sempat dikabarkan menjadi bagian dari Tim Mawar, sebuah tim di Angkatan Darat yang diduga terlibat dalam aksi penculikan aktivis pada tahun 1998, tetap eksis dan memperoleh jabatan mentereng di era Prabowo-Gibran.
Ada empat orang. Mereka antara lain Untung Budiharto yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Transjakarta, Dadang Hendrayuda sebagai Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan Badan Gizi Nasional, Nugroho Sulistyo Budi yang telah dilantik sebagai Kepala BSSN, serta Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus.
Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menepis anggapan bahwa keberadaan TNI aktif di institusi sipil, adalah representasi dari kembalinya doktrin dwifungsi ABRI. Menurutnya, diskursus dwifungsi ABRI sudah tidak relevan, apalagi setelah proses demokratisasi yang berjalan sejak 1998.
“Kami tuh sudah lupakan pemikiran dwifungsi. Dulu kan dwifungsi bisa sampai pemimpin daerah. Sekarang kan sudah dipilih langsung, demokrasi. Mau gimana lagi dwifungsi?” kata Maruli dilansir dari Antara, Kamis (20/2/2025).
Baca Juga
Selain TNI, tren serupa juga terjadi di institusi kepolisian. Polanya justru lebih massif dan telah dimulai sejak era Joko Widodo alias Jokowi. Banyak petinggi atau perwira tinggi Polri yang menjabat di institusi atau kementerian lain. Isu dwifungsi Polri sempat mencuat pada waktu itu.
Dalam catatan Bisnis, Kapolri belum lama ini bahkan telah menugaskan 9 perwira tinggi Polri di sejumlah kementerian. Kesembilan perwira tinggi itu ditugaskan mulai dari Imigrasi, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Kemenko PMK, Kementerian ESDM, hingga Kementerian Lingkungan Hidup.
Adapun 9 perwira Polri itu antara lain, Komjen Pol Yan Sultra Indrajaya, Irjen Pol Mashudi, Irjen Pol Ratna Pristiana Mulya, Irjen Pol Alexander Sabar, Irjen Pol R. Ahmad Nurwakhid, Brigjen Pol Arif Fajarudin, Brigjen Pol Raja Sinambela, Brigjen Pol Frans Tjahyono, Brigjen Pol Achmad.
Tentara dan polisi menduduki jabatan sipil sejatinya bukan suatu hal yang baru. Pada era Orde Baru, dimana sistem politik masih otoriter, banyak tentara dan polisi yang menjadi pejabat di lingkungan kementerian bahkan kepala daerah hingga tingkat yang paling kecil di kelurahan. Waktu itu, tidak ada perbedaan antara TNI – Polri, mereka tergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia alias ABRI.
Namun demikian, sejak reformasi, ada gelombang besar untuk mengembalikan tentara ke tugas dan fungsinya secara tradisional. Dwifungsi ABRI dihilangkan. Secara eksplisit Undang-undang TNI telah mengatur secara tegas bahwa prajurit TNI aktif dilarang untuk menduduki jabatan sipil.
Pasal 47 UU TNI, misalnya, mengatur prajurit atau siapapun yang berasal dari rumpun militer hanya bisa menduduki jabatan sipil jika mengundurkan diri atau memasuki masa purna tugas dari dinas kemiliteran.
Kendati demikian, beleid tentang TNI juga memberikan relaksasi, bahwa prajurit TNI tetap bisa menduduki jabatan sipil namun terbatas. Jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif antara lain pejabat di kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Adapun Maruli menjelaskan bahwa prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil dipastikan memiliki kemampuan untuk menjabat posisi tersebut, seperti dalam kasus penunjukan Letjen TNI Novi Helmy sebagai Dirut Bulog. “Misalnya yang dibilang yang menjabat itu karena Aster (Asisten Teritorial Panglima TNI) toh? Dia udah ngurusin tentang pertanian bertahun-tahun,” ujarnya.
Tren Kepuasan TNI
Terlepas dari pro kontra dan isu kebangkitan Dwifungsi ABRI, harus diakui bahwa TNI menjadi salah satu lembaga yang paling dipercaya oleh publik setidaknya menurut beberapa lembaga survei. Litbang Kompas, yang mempublikasikan hasil temuannya pada Januari lalu, menempatkan TNI sebagai lembaga paling memiliki citra positif. Skornya mencapai 94,2%.
Hal serupa juga tampak dari hasil sigi Indikator Politik yang menempatkan TNI sebagai lembaga negara yang memiliki kepuasan paling tinggi dibandingkan dengan lembaga lainnya. Tentu saja, peringkat ini tidak menghitung kepuasan publik terhadap presiden sebagai lembaga negara.
Instansi | Litbang Kompas | Indikator |
TNI | 94,2 | 94 |
Kejaksaan | 70 | 83 |
KPK | 72,6 | 72 |
Polri | 65,7 | 69 |
Sumber: Litbang Kompas, Indikator Politik (%)
Citra positif TNI itu berbanding terbalik dengan Polri. Skor Polri selalu berada di bawah TNI atau lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK dan kejaksaan. Rendahnya citra positif maupun kepuasan publik terhadap Polri itu dipicu oleh rentetan kasus hukum yang menyeret anggota kepolisian mulai dari penembakan, pemerasan, hingga tindak pidana lainnya.
Versi Litbang Kompas citra positif hanya di angka 65,7% atau jauh lebih rendah dibandingkan TNI. Indikator memberikan angka yang lebih baik yakni 69%. Meski demikian, tingkat kepuasan publik terhadap Polri versi Indikator tetap lebih rendah dari TNI.
Isu Amandemen UU TNI
Di tengah polemik anggota TNI - Polri yang merambah jabatan sipil, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjadi prolegnas prioritas 2025.
Persetujuan itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2025).
Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menepis anggapan bahwa RUU TNI ini bisa mengembalikan konsep dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau TNI. Menurut dia, semua pihak lebih baik melihat jalannya pembahasan revisi UU TNI bersama-sama. “Enggak lah, enggak lah, itu dwifungsi ABRI segala macem itu? Enggak lah. Kita lihat lah nanti sama-sama,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas memastikan tidak ada ketentuan yang memberikan kewenangan lebih kepada militer atau TNI dalam amandemen UU No.34/2004.
Supratman mengemukakan bahwa substansi amandemen UU TNI tidak ada yang berbeda dari poin-poin perubahan yang termuat dalam RUU pada periode lalu. Dia menerangkan UU tersebut adalah inisiatif dari DPR, surat presidennya pun kala itu sudah turun, bahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)-nya juga sudah dibahas oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
“Nah sekarang kan nomenklaturnya berubah menjadi Menkopolkam. Karena itu terkait dengan poin-poin yang ada di dalam nanti bisa dicek tentang usulan revisi undang-undang TNI, tidak ada bedanya dengan yang lalu."