Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Respons KPK hingga Polri soal Proteksi Berlapis BUMN dan Danantara

UU BUMN memberikan proteksi berlapis kepada pengelolaan BUMN dari penegak hukum dan BPK.
Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jakarta. Bisnis/Abdurachman
Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jakarta. Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Pengesahan amandemen Undang-undang No.19/2003 menjadi babak baru bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). UU memberikan berbagai macam proteksi berlapis mulai dari perombakan status modal, proses audit, hingga pernyataan bahwa kerugian BUMN bukanlah kerugian negara.

"Modal dan kekayaan BUMN merupakan milik BUMN dan setiap keuntungan atau kerugiannya bukan merupakan keuntungan atau kerugian negara," demikian tertulis dalam penjelasan pasal 4B yang dikutip Bisnis, dalam draf UU BUMN tertanggal 4 Februari 2025, yang dikutip Selasa (17/2/2025).

Dalam catatan Bisnis, klausul ini sejatinya tidak berbeda dengan Daftar Inventarisasi Masalah RUU BUMN pada tanggal 16 Januari 2025. RUU BUMN yang diparipurnakan itu telah mengubah sejumlah paradigma mengenai pengelolaan BUMN.

Ada dua poin penting dalam beleid baru tersebut yang telah disahkan DPR itu. Pertama, tentang pembentukan Badan Pengelola Investasi alias BPI Danantara. Kedua, tentang status BUMN dan adopsi prinsip business judgement rule

Adopsi prinsip ini memiliki banyak implikasi misalnya penegasan bahwa BUMN bukan bagian dari rumpun penyelenggara negara serta kerugian yang diderita oleh BUMN tidak dianggap sebagai kerugian negara. 

Keberadaan pasal mengenai kerugian BUMN dan status direksi, komisaris hingga dewan pengawas yang bukan penyelenggara negara, mempersempit ruang bagi otoritas penegakan hukum untuk bergerak jika terjadi kasus fraud dalam proses investasi atau pengelolaan BUMN. 

Padahal, baik dalam UU BUMN existing maupun UU hasil revisi, modal maupun UU BUMN yang telah disahkan oleh paripurna, bersumber dari APBN salah satunya melalui penyertaan modal negara alias PMN.

Kendati demikian, dalam UU baru tersebut, ada perubahan besar dalam paradigma mengenai modal di BUMN. UU existing, terutama di Pasal 4, menegaskan bahwa modal BUMN adalah berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Salah satunya melalui penyertaan modal negara alias PMN. 

Ketentuan mengenai sumber lain dalam struktur modal BUMN dalam UU Existing  terdapat dalam pasal mengenai privatisasi, misalnya pasal 74 ayat 1a yang secara eksplisit mengatur bahwa tujuan privatisasi adalah memperluas kepemilikan masyarakat di perusahaan Persero.

Menteri BUMN dan Ketua Komisi VI DPR di DPR
Menteri BUMN dan Ketua Komisi VI DPR di DPR

Namun demikian, dalam RUU BUMN yang disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pekan lalu, ada perubahan besar dalam struktur modal BUMN. Pertama, pemerintah dan DPR telah menyepakati bahwa modal BUMN adalah bagian dari keuangan BUMN, bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan, yang dikelola secara good corporate governanance. Pasal mengenai kekayaan negara yang dipisahkan telah diubah frasanya menjadi keuangan BUMN.

Kedua, sumber modal BUMN berasal dari APBN maupun non-APBN. Sumber modal dari APBN mencakup dana tunai, barang milik negara, piutang negara dari BUMN atau perseroan terbatas, atau aset negara lainnya. Sementara itu, untuk modal non-BUMN bisa berasal dari keuntungan revaluasi aset, kapitalisasi cadangan, agio saham, hingga sumber lain yang sah.

Sementara itu, dalam beleid baru yang segera diundangkan tersebut, ada sebuah klausul berupa penegasan bahwa penyertaan modal negara alias PMN yang telah diberikan ke BUMN statusnya adalah kekayaan BUMN dan tanggung jawabnya berada di tangan BUMN.  

Hal itu diperjelas dalam Pasal 4A ayat 5 bagian penjelasan yang berbunyi: "BUMN adalah badan hukum privat yang modalnya merupakan milik dan tanggung jawab BUMN sebagai badan hukum baik yang berasal dari APBN maupun non-APBN. Oleh karenanya harus dibina dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik." 

Dalam catatan Bisnis, penjelasan pasal-pasal tersebut juga selaras dengan pernyataan Menteri BUMN Erick Tohir saat memberikan pernyataan usai rapat paripurna di DPR beberapa waktu lalu. Waktu itu, Erick mengemukakan dua poin penting dalam amandemen UU BUMN tersebut. 

Pertama, penegasan pengelolaan aset BUMN sesuai prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dilakukan secara akuntabel, dan selaras dengan perundang-undangan. Kedua, mengatur status kekayaan BUMN sebagai kekayaan negara yang dipisahkan ditegaskan agar lebih fleksibel dalam menjalankan aksi korporasi.

Erick menyatakan bahwa beleid itu, beserta ketentuan lainnya dalam Perubahan Ketiga RUU BUMN, diharapkan memperkuat daya saing BUMN dan mendukung target pertumbuhan ekonomi sebagaimana dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.

Bukan Penyelengara Negara

Selain soal status modal BUMN, draf amandemen Undang-undang No.19/2003 tentang BUMN juga menegaskan bahwa Badan Pengelola Investasi Danantara serta Direksi, Komisaris, hingga Dewan Pengawas BUMN bukan bagian dari rumpun penyelenggara negara.  

Ketentuan mengenai status kepegawaian Badan tercantum dalam Pasal 3 Y RUU BUMN. Pasal tersebut menegaskan bahwa organ dan pegawai badan bukan penyelenggara negara. 

Sementara itu, ketentuan yang mengatur mengenai status Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan penyelenggara negara diatur secara eksplisit dalam Pasal 9G. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

"Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara."

Sedangkan pasal 87 angka 5 RUU tersebut juga menegaskan bahwa pegawai BUMN bukan bagian dari penyelenggara negara.

Namun demikian, ketentuan itu melekat kepada mereka yang diangkat hingga diberhentikan sesuai dengan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sementara itu, untuk komisaris atau dewan pengawas yang berasal dari penyelenggara negara, statusnya sebagai penyelenggara tetap melekat. 

Adapun ketentuan mengenai status kepegawaian karyawan hingga direksi BUMN bersifat lex specialist, kecuali ketentuan lainnya terkait penyelenggara negara yang tidak diatur dalam RUU BUMN.

Dalam catatan Bisnis, ketentuan itu berpotensi bertentangan dengan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh sejumlah aparat penegak hukum baik itu KPK, Polri maupun Kejaksaan Agung. Apalagi pasal 2 UU No.28/1999 telah memasukan pegawai BUMN sebagai bagian dari penyelenggara negara.

Kebal Audit?

Selain perubahan status modal, amandemen Undang-undang No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) versi draf paripurna tanggal 4 Februari 2025, memberi mandat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa Badan Pengelola Investasi atau BPI Danantara.

Namun demikian, beleid baru yang segera berlaku itu memangkas kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam memeriksa laporan keuangan BUMN.

Badan Pemeriksa Keuangan alias BPK
Badan Pemeriksa Keuangan alias BPK

Beleid yang memangkas kewenangan lembaga auditor negara itu tertuang dalam Pasal 71 ayat 1. Pasal itu menekankan bahwa pemeriksaan keuangan tahunan perseroan dilakukan oleh akuntan publik yang penetapannya melalui mekanisme rapat umum pemegang saham alias RUPS. 

Padahal jika mengacu kepada UU existing terutama Pasal 71 ayat 1, pemeriksaan laporan keuangan perseroan dilakukan oleh auditor eksternal yang ditetapkan melalui RUPS. Auditor eksternal, salah satunya adalah BPK.  

BPK selama ini bisa melakukan audit pemeriksaan laporan keuangan, laporan kinerja, hingga penyusunan audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu alias PDTT terhadap BUMN.

Namun dalam beleid yang baru diparipurnakan pekan lalu itu, BPK hanya diberikan kewenangan untuk melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu alias PDTT, itupun harus berdasarkan permintaan DPR. Pemeriksaan PDTT adalah pemeriksaan yang ditujukan khusus diluar pemeriksaan keuangan reguler. 

"Pemeriksaan dengan tujuan tertentu hanya dapat dilakukan atas permintaan alat kelengkapan DPR RI yang membidangi BUMN," demikian tulis draf RUU BUMN versi 4 Februari 2025, dikutip Kamis (13/2/2025).

Adapun, dalam beleid baru yang tinggal menunggu penomoran dari istana itu, ditegaskan bahwa akuntan publik yang berwenang untuk memeriksa laporan keuangan BUMN harus yang telah terdaftar di BPK. Selain itu, BPK juga tetap diberi mandat untuk memeriksa keuangan Badan Pengelola Investasi alias BPI Danantara.

Hal itu tertuang dalam Pasal 3K yang berbunyi: "Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Badan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

KPK Bakal Mengkaji 

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengkaji revisi Undang-undang (UU) tentang Badan Usaha Milik Negara atau BUMN yang telah disahkan DPR pekan lalu. Beleid tersebut di antaranya mengatur soal kerugian negara pada BUMN. 

Sebagaimana diketahui, terdapat banyak kasus korupsi yang ditindak oleh penegak hukum mulai dari KPK hingga Kejaksaan Agung (Kejagung) yang bermula dari kerugian keuangan negara melalui BUMN.

Ada sederet direksi maupun petinggi lainnya di perusahaan pelat merah yang yang dijerat dengan pasal 2 dan 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

Menanggapi perubahan pada UU BUMN itu, Ketua KPK Setyo Budiyanto masih irit berkomentar. Namun, dia memastikan bakal menugaskan lembaganya untuk mengkaji lebih lanjut beleid yang baru disahkan DPR itu. 

"Saya akan tugaskan Biro Hukum untuk mengkaji pasal-pasal dalam UU tersebut sehingga ada penafsiran yang tepat," ujar Setyo kepada Bisnis melalui pesan singkat, Selasa (11/2/2025).

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto menilai, aturan soal business judgement rule alias BJR bukan suatu hal yang baru. Dia pribadi tak memandang bahwa aturan baru dalam beleid tersebut bisa disalahgunakan menjadi dalih berkelit dari jerat pidana bagi petinggi BUMN. 

Menurutnya, perlindungan terhadap direksi BUMN sudah diatur dalam UU tentang Perseroan Terbatas (PT). 

Fitroh tidak menampik bahwa penegak hukum perlu lebih berhati-hati dalam mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Dia menekankan bahwa penegak hukum harus bisa membuktikan adanya indikasi niat jahat (mens rea) dalam kasus-kasus kerugian keuangan negara. 

"Saya termasuk yang sepakat harus benar-benar hati-hati dalam menerapkan pasal 2 atau 3 khususnya dalam bisnis, harus benar-benar ada niat jahat dan bukan sekedar asal rugi menjadi korupsi. Sebagaimana pernah saya sampaikan dalam fit and proper [test pimpinan KPK, red]," jelasnya kepada Bisnis, Minggu (2/2/2025). 

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper