Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penghapusan Ambang Batas Parlemen 4%, Akademisi: Setuju, Tidak Ada di UUD

Diskusi ambang batas parlemen dihapuskan mengemuka setelah Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya menghapus ambang batas pencalonan presiden 20%.
Penyandang disabilitas menggunakan hak suaranya pada pemilu 2024 di TPS 05 Kecamatan Panakkukang, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (14/2/2024). Bisnis/Paulus Tandi Bone
Penyandang disabilitas menggunakan hak suaranya pada pemilu 2024 di TPS 05 Kecamatan Panakkukang, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (14/2/2024). Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan dirinya setuju dengan wacana penghapusan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) 4% yang diutarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.

Untuk diketahui, Yusril awalnya melemparkan wacana bahwa ambang batas parlemen 4% bisa dihapuskan apabila ada yang menggugatnya melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu sejalan dengan penghapusan ambang batas pencalonan presiden 20% oleh MK beberapa waktu lalu.

Feri mengemukakan alasan dirinya setuju lantaran aturan ambang batas duduk di parlemen nyatanya tak tertuang di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil perubahan. Menurutnya, jika memang ambang batas menempatkan wakil partai politik di parlemen merupakan suatu hal yang sangat penting, semestinya hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Saya setuju dihapuskan karena tidak ada di UUD. Nah, secara terang UUD 1945 hasil perubahan tidak bicara, tidak mengatur soal itu. Artinya, tidak ada ambang batas duduk di parlemen. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak diatur, tidak boleh kemudian diatur sedemikian rupa untuk mencegah lawan atau pesaing politik duduk di parlemen,” katanya saat dihubungi Bisnis, Minggu (19/1/2025).

Menurutnya, kehendak UUD inilah yang seharusnya dipatuhi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jika ambang batas parlemen dihapus, lanjutnya, hal tersebut akan membantu membuka ruang bagi publik minoritas tertentu untuk memilih calon anggota agar bisa duduk di parlemen meskipun bukan dari partai besar.

Dengan demikian, dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini menuturkan bahwa yang paling penting bukanlah soal representasi partai, melainkan representasi publik yang memilih suatu calon tertentu.

Terkadang, jelas Feri, angka keterpilihan suatu calon tertentu jauh lebih besar dibandingkan anggota partai tertentu yang duduk di parlemen. Namun, karena partai calon tersebut tidak memenuhi ambang batas, maka tidak bisa menduduki parlemen, padahal jumlah pemilihnya jauh lebih banyak.

“Itu tentu tidak adil bagi pemilih karena kita akan kehilangan banyak suara dari pemilih yang menghendaki representasi tertentu agar bisa duduk di parlemen. Karena dia tidak adil secara pendekatan keterwakilan, maka sesungguhnya juga tidak adil bagi rakyat,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia berpandangan bahwa bila nantinya di parlemen ada figur tertentu dari partai kecil yang mampu duduk di parlemen, maka akan tercipta keberagaman parlemen yang didasari oleh kehendak pilihan publik.

“Dengan beragamnya keterwakilan, maka beragam pula aspirasi yang diperjuangkan. Pada titik tertentu, suara minoritas pun akan penting diperjuangkan dan dilindungi dengan konsep dihilangkannya ambang batas masuk parlemen,” pungkasnya


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper