Bisnis.com, JAKARTA - Toleransi bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan ragam budaya dan agama Indonesia, tetapi yang tepat adalah kesetaraan.
Hal tersebut disampaikan oleh Pendeta Yerry Pattinasarany. Menurutnya, toleransi menjadi kata yang sering dipakai untuk menindas minoritas oleh agama mayoritas, sehingga minoritas diam dan mengalah agar terjadi perdamaian, dan ini adalah salah.
Peristiwa yang sering terjadi adalah pelarangan ibadah di lokasi yang mayoritas. Sebab, di balik kata toleransi maka kelompok minoritas, harus meminta izin atau merengek kepada kelompok mayoritas untuk mendapatkan izin beribadah.
"Toleransi diartikan sebagai hadiah dari yang kuat/besar ke kaum yang lemah/ kecil, bukan karena hak yang setara, tetapi kaum yang lemah harus tunduk, memohon agar yang mayoritas memberikan karunia yang harusnya itu adalah hak kesetaraan," pungkas Yerry, Rabu (4/9/2024).
Menurut Yerry, toleransi berbalut kedamaian, akhirnya membuat lemah semangat kesetaraan yang sebenarnya menjadi tolak ukur dalam keberagaman. Kesetaraan untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam beribadah adalah penting bagi semua umat.
Dia juga berharap agar pemerintah mencabut regulasi SKB menteri dan menindak tegas lurah, RT, RW, camat, dan gubernur yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas.
Baca Juga
Ironinya, Presiden Jokowi mengklaim bahwa Indonesia menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika dan toleransi terhadap umat beragama.
Namun kenyataannya, aksi-aksi kekerasan atau intoleransi masih sering terjadi di Indonesia. Mulai dari pelarangan ibadah di gereja, larangan membangun rumah ibadah, larangan ibadah di rumah yang juga harus minta izin lurah, hingga aksi bom bunuh diri.
Paus Fransiskus mengatakan di depan Jokowi bahwa keadilan sosial dan Bhineka Tunggal Ika adalah prinsip yang hakiki dan pondasi yang kokoh untuk membangun sebuah rumah.
"Sayangnya, kita melihat di dunia saat ini, muncul konflik kekerasan, yang sering kali muncul karena kurangnya sikap saling menghargai, dan dari keinginan intoleransi untuk memaksakan kepentingan sendiri," ungkap Paus Fransiskus.
Paus menjelaskan bahwa narasi histori sepihak dengan segala upaya, sering sekali membawa penderitaan tiada akhir bagi seluruh komunitas dan berujung pada peperangan dan pertumpahan darah.
"Terkadang, ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu," kata Paus Fransiskus.