Bisnis.com, JAKARTA -- Kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Jakarta, Indonesia pada 3-6 September 2024 bertepatan dengan musim hajatan Pilkada serentak 2024. Untuk itu, cukup relevan untuk melihat gagasan Paus Fransiskus tentang politik dan pesannya bagi para politisi.
Gagasan politik dan pesan bagi politisi dari Paus Fransiskus itu termuat dalam ensiklik “Fratelli Tutti” (Saudara Sekalian). Ensiklik adalah surat edaran Paus yang berisi pengajaran tentang iman untuk menanggapi perkembangan zaman.
Eksiklik Fratelli Tutti (FT) ini dirilis pada pada 3 Oktober 2020, sehari sebelum perayaan Santo Fransiskus Asisi, nama yang dipilih oleh paus dengan nama asli Jorge Mario Bergoglio ini sebagai pelindung.
Dengan latar belakang Pandemi Covid-19, ensiklik Fratelli Tutti hadir untuk mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial.
Dengan kondisi kedaruratan global karena ancaman pandemi, Paus Fransiskus ingin mendorong dan menawarkan "satu keluarga umat manusia" (FT30) di mana kita adalah "saudara bagi semua" (FT286).
Politik yang Baik Menurut Paus Fransiskus
Secara garis besar ensiklik Fratelli Tutti terbagi dalam delapan bab. "Politik Yang Lebih Baik" menjadi judul bab kelima ensiklik itu. Gagasan Paus Fransiskus tentang politik dalam dilihat dalam bingkai menuju kebaikan bersama (bonum commune) lewat cinta kasih persaudaraan.
Paus Fransiskus mengatakan bagi sebagian orang politik mungkin kata yang buruk karena aneka kesalahan, tindakan korupsi dan inefisiensi beberapa politisi.
Namun, Paus Fransiskus juga melontarkan pertanyaan, bisakah dunia berfungsi tanpa politik? Bisakah dunia menemukan suatu cara efektif menuju persaudaraan universal dan perdamaian sosial tanpa politik yang baik? (FT176)
Paus Fransiskus menggambarkan kondisi politik saat ini makin rapuh berhadapan dengan kekuatan ekonomi transaksional yang menerapkan prinsip devide et impera atau "bagilah dan kuasai" (FT12).
Menurut Paus Fransiskus saat ini di banyak negara mekanisme politik digunakan untuk menjengkelkan, memperburuk, dan mempolarisasi.
Dengan berbagai cara, orang lain diingkari haknya untuk hidup dan berpikir, dan untuk tujuan itu dipakai strategi mengejek mereka, mencurigai mereka, mengepung mereka.
"Dengan demikian, politik tidak lagi menjadi debat- debat sehat tentang program jangka panjang untuk pengembangan semua orang dan kebaikan bersama, tetapi hanya menawarkan resep-resep pemasaran sekilas yang menemukan sumber dayanya yang paling efektif dalam penghancuran pihak lain," tulisnya (FT15).
Menurut Paus asal Argentina ini politik memiliki tujuan untuk melayani kebaikan bersama. Namun, sayangnya politik saat ini sering mengambil bentuk yang menghambat perjalanan menuju tujuan itu.
Paus Fransiskus secara khusus membahas diksi "populer" dan "populis." Dia menyebut ada pemimpin yang "populer", yang merakyat, yang mampu menafsirkan perasaan bangsa dan tren besar masyarakat.
Layanan yang mereka berikan menyatu dan membimbing sehingga dapat menjadi landasan untuk perubahan dan pertumbuhan berkelanjutan.
"Tapi layanan itu bisa merosot menjadi populisme yang tidak sehat ketika berubah menjadi kemampuan seseorang untuk menarik kesepakatan yang bertujuan mengeksploitasi budaya bangsa secara politis, dengan bendera ideologis apapun guna melayani proyek pribadi dan kelangsungan kekuasaannya." (FT159).
Populisme ini, tulis Paus Fransiskus, menjadi lebih buruk ketika, dalam bentuk kasar atau halus, menjadi perampasan kekuasaan atas institusi-institusi dan hukum.
Paus Fransiskus melanjutkan tanda kemerosotan kepemimpinan populer adalah mengejar kepentingan segera. Kebutuhan rakyat dipenuhi untuk menjamin suara atau dukungan, tetapi tanpa meningkatkan komitmen yang kuat dan berkesinambungan khususnya untuk menyediakan sumber daya bagi perkembangan masyarakat, agar mereka dapat mencari nafkah dengan upaya dan kreativitas mereka sendiri (FT 161).
Paus Fransiskus tidak menampik bahwa untuk mengatasi ketimpangan sosial membutuhkan pengembangan ekonomi. Program bantuan sosial (bansos), katanya, harus dilihat sebagai jawaban semantara karena untuk mengatasi beberapa kebutuhan mendesak.
Terkait bansos, menurut Paus Fransiskus, persoalan yang besar ialah (lapangan) pekerjaan. Tujuan utama seharusnya selalu memungkinkan masyarakat hidup bermartabat melalui pekerjaan.
"Sistem produksi bisa berubah, tapi politik tidak pernah boleh mengabaikan tujuan untuk memastikan setiap orang dapat berkontribusi dengan bakat dan usaha sendiri," katanya.
Ekonomi dan Politik
Menjawab pertanyaan besar bisakah dunia berfungsi tanpa politik, Paus Fransiskus mengatakan politik tidak harus tunduk pada ekonomi dan ekonomi tidak harus tunduk pada perintah dan efisiensi teknokrasi.
Meskipun harus menolak penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, pengabaian terhadap hukum, dan ketidakefisienan, kita tidak bisa membenarkan ekonomi tanpa politik, karena akan membuat mustahil mengajukan pola berpikir lain untuk menanggulangi berbagai aspek krisis saat ini.
Paus Fransiskus menegaskan kita membutuhkan sebuah politik yang berpandangan luas dan bisa mengajukan pendekatan komprehensif, mampu mengintegrasikan berbagai aspek krisis ke dalam suatu dialog interdisipliner.
“Saya memikirkan politik yang sehat, yang mampu membaharui dan mengoordinasi lembaga-lembaga serta membuatnya berfungsi dengan lebih baik sehingga dapat mengatasi pelbagai tekanan dan kelumpuhan birokrasi.”
Paus Fransiskus lantas menyodorkan cinta kasih politik yang disebutnya mampu mengembangkan rasa sosial melampaui mentalitas individualistis. Cinta kasih sosial, tambahnya, membuat kita mampu mencintai kesejahteraan umum dan mengikhtiarkan kebaikan bersama.
Paus Fransiskus mengajak para politisi untuk mengevaluasi politik yang “merupakan panggilan luhur, dan salah satu bentuk paling bernilai amal kasih, sejauh mengusahakan kesejahteraan umum.”( FT180).
Paus Fransiskus lantas berpesan bagi para politisi yang dipanggil untuk memperhatikan kerapuhan bangsa. Seorang politikus, katanya, adalah seorang pelaksana, adalah seorang pembangun dengan tujuan-tujuan besar, dengan pandangan yang luas, realistis dan pragmatis, bahkan melampaui batas negaranya sendiri.
Menurut Paus keprihatinan utama seorang politikus seharusnya bukan tentang turunnya jumlah suara, melainkan kegagalannya menemukan solusi yang efektif untuk fenomena pengucilan sosial dan ekonomis.
fenomena pengucilan sosial dan ekonomis itu, jelasnya, memiliki banyak konsekuensi yang menyedihkan seperti perdagangan manusia, perdagangan organ dan sel-sel manusia, eksploitasi seksual terhadap anak-anak laki-laki dan perempuan, kerja paksa, termasuk prostitusi, perdagangan narkoba dan senjata, terorisme dan kejahatan internasional yang terorganisir.