Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Budi Sylvana diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (26/6/2024).
Usai menjalani pemeriksaan, Budi menjelaskan bahwa dia diperiksa ihwal pengadaan APD Covid-19 yang menggunakan Dana Siap Pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 2020 silam. Berdasarkan catatan Bisnis, Budi merupakan salah satu pihak yang telah dicegah ke luar negeri pada kasus tersebut.
Budi menceritakan, dia bukan pihak yang menetapkan harga APD Covid-19 itu. Dia juga menyebut bukan pihak yang menunjuk perusahaan penyedia APD, yakni PT Permana Putra Mandiri (PPM).
Menurut Budi, dia hanya mengikuti perintah jabatan ketika menjadi PPK dalam pengadaan tersebut. Namun demikian, dia mengaku saat ini sudah dicopot dari jabatannya di Kemenkes.
"Saya ditunjuk sebagai PPK oleh pimpinan saya. Ya karena perintah jabatan, ya saya tidak bisa menghindar saat itu," ujarnya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Pria yang juga sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes itu lalu mengakui tidak membayar keseluruhan kontrak pengadaan APD dengan PT PPM.
Baca Juga
Saat itu, Gugus Tugas Covid-19 yang dipimpin oleh Kepala BNPB Doni Monardo memesan total lima juta set APD untuk penanggulangan Covid-19. Namun, hanya tiga juta set APD yang sudah diserap dan sisanya sekitar dua juta set masih tersimpan di gudang.
Hal itu disebabkan oleh adanya audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menunjukkan adanya ketidakwajaran harga APD tersebut. Alhasil pemerintah cq Budi Sylvana ikut digugat secara perdata oleh Direktur Utama PT PPM Ahmad Taufik, yang kini juga dicegah ke luar negeri pada kasus tersebut.
"Cuma memang akhirnya saya menunda, saya tidak membayar gitu. Sehingga akibatnya saya juga dituntut di perdata. Mereka menuntut saya untuk membayar. Saya tidak membayar dalam hal ini," ucap Budi.
Adapun Budi mengonfirmasi bahwa anggaran pengadaan APD itu berasal dari Dana Siap Pakai BNPB 2020. Dia menyebut Kepala BNPB saat itu, Letjen Doni Monardo, menekankan bahwa Indonesia membutuhkan pengadaan tersebut.
"Concern-nya beliau ya jelas, saat itu Indonesia butuh APD. Itu concern-nya beliau. Negara harus mempersiapkan itu," ungkapnya.
Untuk diketahui, pengadaan APD yang kini diperkarakan KPK itu diselenggarakan secara darurat. Artinya, pemerintah menunjuk langsung rekanan swasta penyedia barang dan jasa sehingga tidak adanya mekanisme lelang.
Hal itu turut dikonfirmasi oleh Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo usai diperiksa KPK, Jumat (19/4/2024). Seperti halnya Budi Sylvana dan Ahmad Taufik, Satrio juga merupakan pihak yang dicegah pada kasus tersebut. Dia juga mengakui bahwa telah ditetapkan tersangka oleh KPK.
PT EKI diketahui merupakan perusahaan pemilik APD yang menyuplai barangnya ke PT PPM. Satrio mengatakan bahwa bahan baku pembuatan APD oleh PT EKI didatangkan dari Korea Selatan. Paket APD yang meliputi hazmat itu merupakan merek Boho.
"Asal mulanya diambil dulu barangnya [APD]. Jadi prosedurnya itu darurat, tidak ada proses lelang," kata Satrio kepada wartawan usai diperiksa penyidik di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (19/4/2024).
KPK TAMBAH DAFTAR CEGAH
Sebelumnya, KPK telah mengajukan cegah ke luar negeri kepada Direktur PT EKI Satrio Wibowo, Direktur PT PPM Ahmad Taufik, mantan PPK pada Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana, Sekretaris Utama BNPB Harmensyah, dan advokat Isdar Yusuf.
Teranyar, Selasa (24/6/2024), KPK turut mengajukan cegah tambahan kepada dokter berinisial SLN dan dua orang swasta yaitu ET serta AM.
KPK menduga pengadaan APD itu merugikan keuangan negara sekitar Rp625 miliar berdasarkan audit BPKP. Lembaga antirasuah itu juga mengendus dugaan praktik penggelembungan harga atau mark up pada pengadaan tersebut.