Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar cegah ke luar negeri untuk tiga orang dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Tiga orang tersebut yakni dokter berinisial SLN serta dua orang swasta berinisial ET dan AM. KPK telah menerbitkan surat larangan bepergian ke luar negeri untuk enam bulan ke depan kepada ketiganya.
"Hari ini Selasa 24 Juni 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat larangan bepergian ke luar negeri untuk 6 (enam) bulan kedepan terhadap SLN (Dokter), ET (Swasta), dan AM (Swasta)," ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto kepada wartawan, Selasa (25/6/2024).
Tessa menyebut ketiga orang tersebut dibutuhkan untuk mendukung kelancaran proses penyidikan kasus yang diduga merugikan keuangan negara itu.
"KPK meyakini para pihak terkait akan kooperatif mengikuti proses ini," lanjutnya.
Lembaga antirasuah sebelumnya telah memulai penyidikan terkait dengan dugaan korupsi pengadaan APD pada Kemenkes. Pengadaan itu disebut menggunakan Dana Siap Pakai pada Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) 2020 atau ketika pandemi Covid-19.
Baca Juga
Sebelumnya, KPK telah mengajukan cegah untuk lima orang terdiri dari swasta serta pejabat di Kemenkes dan BNPB. Mereka adalah Direktur PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo, Direktur PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana, Sekretaris Utama BNPB Harmensyah, dan advokat Isdar Yusuf.
Penyidik KPK menduga pengadaan APD itu merugikan keuangan negara sekitar Rp625 miliar berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Penyidik juga mengendus dugaan praktik penggelembungan harga atau mark up pada pengadaan itu.
Mark up itu diduga dilakukan oleh para tersangka kasus tersebut, yang mendatangkan APD berbentuk hazmat dari Korea Selatan.
Adapun perusahaan yang menyediakan APD berupa hazmat untuk Gugus Tugas Covid-19 pada saat pandemi, diketahui memasok bahan bakunya dari Korea Selatan. Perusahaan itu yakni PT Energi Kita Indonesia (EKI).
PT EKI diketahui menyediakan APD untuk PT Permana Putra Mandiri (PPM) yang ditunjuk oleh Gugus Tugas Covid-19 sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), dalam keadaan darurat pandemi. Oleh karena itu, penunjukan dilakukan tanpa mekanisme pengadaan barang dan jasa seperti biasanya seperti melalui tender.
KPK pun dikabarkan menetapkan salah seorang pihak Kemenkes, serta direktur utama PT EKI dan PT PPM sebagai tersangka. Direktur Utama PT EKI Satrio Wibowo mengakui status hukumnya itu saat diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK, Jumat (19/4/2024).
Satrio juga membenarkan upaya cegah yang dilakukan terhadapnya. Kendati demikian, dia membantah adanya mark up seperti yang disampaikan KPK. Dia mengemukakan, awalnya sudah menolak suplai APD kepada PT PPM lantaran harga yang dipatok pemerintah senilai sekitar Rp300.000 terlalu rendah.
Satrio mengklaim harga pasar bisa mencapai Rp1 juta hingga Rp2 juta. Menurutnya, ada dua pengadaan APD yang disuplai oleh PT PPM. Ada dua surat pesanan APD yang diterbitkan pada periode prapandemi dan sudah masuk pandemi.
Dia mengatakan, harga Rp300.000 yang ditawar pemerintah hanya berdasarkan berita acara kewajaran harga secara sepihak oleh Kemenkes.
"Jadi ada dua surat pesanan nih, beda. Jadi pas satu yang kondisi normal, atau prapandemi, satu lagi kondisi darurat. Jadi kami disangkanya mark up, padahal dugaan mark up," tuturnya.