Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga Itjen Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ikut kecipratan bancakan fee proyek pembangunan jalur kereta api.
Hal itu terungkap setelah penyidik KPK mengembangkan perkara dugaan suap jalur kereta api, yang menjerat salah satu mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) di lingkungan Ditjen Perkeretaapian Kemenhub yakni Yofi Oktarisza. Yofi sebelumnya telah ditahan penyidik KPK, Kamis (13/6/2024).
Adapun KPK mengungkap dugaan adanya persentase fee proyek jalur kereta api dari sejumlah pihak swasta yang turut dialokasikan untuk pihak PPK di proyek tersebut, BPK, Itjen Kemenhub, pokja pengadaan serta Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP).
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, pada kesempatan terpisah, buka suara terkait dengan potensi pemanggilan terhadap oknum-oknum yang diduga mendapatkan aliran dana rasuah itu. Dia memastikan bahwa seluruh pihak yang dipanggil berkaitan dengan suatu kasus dugaan korupsi merupakan kebutuhan dari para penyidik.
"Semua dikembalikan ke kebutuhan penyidik di dalam memperkuat unsur perkara yang ditangani, apakah memang yang sudah disebut dibutuhkan untuk menguatkan perkaranya maupun ada pengembangan itu nanti bergantung pada kebutuhan penyidik," ujarnya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, dikutip Jumat (21/6/2024).
Bancakan Fee Proyek
Adapun pada keterangan sebelumnya, KPK menduga tersangka Yofi mendapatkan fee dengan besaran 10% sampai 20% dari nilai proyek jalur kereta api di lingkungan Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas 1 Jawa Bagian Tengah atau kini disebut BTP Kelas 1 Semarang. Fee itu didapatkan berkat bantuan yang diberikan olehnya kepada sejumlah pihal swasta untuk mendapatkan proyek di lingkungan BTP Kelas 1 Semarang itu.
Baca Juga
"Bahwa atas bantuan tersebut, PPK termasuk tersangka Yofi Oktarisza menerima fee dari rekanan termasuk Dion Renato Sugiarto dengan besaran 10% s.d 20% dari nilai paket pekerjaan yang diperuntukan," terang Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu, Kamis (13/6/2024).
Secara rinci, persentase fee itu juga diperuntukkan sebesar 4% untuk PPK, 1-1,5% untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 0,5% untuk Itjen Kemenhub, 0,5% Pokja Pengadaan serta 3% untuk Kepala BTP. Fee atau uang panas dari rekanan swasta di Kemenhub itu tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan juga memastikan kelancaran proyek termasuk pencarian termin.
Dari pemufakatan tersebut, Yofi diduga mendapatkan fee dari berbagai sumber. Misalnya, dari Direktur PT Istana Putra Agung (IPA) Dion Renato Sugiarto, Yofi mendapatkan persentase fee dari nilai proyek sebesar 7% atau Rp5,6 miliar (2017); 11% atau Rp5 miliar (2018); 11% atau Rp3 miliar diberikan secara bertahap dalam bentuk logam mulia (2019); satu unit mobil Innova Reborn (2017); serta satu unit Honda Jazz (2018).
Kemudian, Yofi juga diduga mendapatkan fee dari rekanan lain meliputi deposito atas nama Dion Renato Sugiarto yang berkembang menjadi Rp20 miliar. Sebagian di antaranya dicairkan menjadi obligasi Rp6 miliar. Kemudian, ada pemberian juga dalam bentuk reksadana, aset berupa tanah, kendaraan berupa mobil Innova dan Jazz serta sejumlah logam mulia.
KPK menyebut dari sederet pemberian itu, sebagian telah disita yaitu tujuh buah deposito senilai sekitar Rp10 miliar, satu buah kartu ATM, uang tunai Rp1 miliar, tabungan reksadana Rp6 miliar serta delapan bidang tanah sekaligus sertifikat dengan nilai sekitar Rp8 miliar.
Berdasarkan penjelasan KPK, perusahaan Dion mendapatkan empat paket pekerjaan saat tersangka menjabat PPK. Empat proyek itu memiliki nilai Rp128,5 miliar, Rp49,9 miliar, Rp12,4 miliar serta Rp37 miliar.
Untuk diketahui, Dion Renato merupakan salah satu terdakwa dalam kasus suap jalur kereta api tahap pertama yang sebelumnya sudah dilimpahkan ke pengadilan. Tidak hanya PT IPA, dua perusahaam Dion lainnya juga diduga mendapatkan proyek di BTP Kelas 1 Semarang yakni PT Prawiramas Puriprima (PP) dan PT Rinenggo Ria Raya (RRR).
Atas perbuatannya, Yofi disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b dan/atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).