Bisnis.com, JAKARTA -- Wacana presiden ditunjuk langsung oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memicu polemik. Ide itu muncul di tengah massifnya konsolidasi kekuasaan di lingkaran elite dan pelaksanaan demokrasi yang terkesan prosedural.
Adapun ide pemilihan presiden ditunjuk MPR berawal dari pernyataan politikus Golkar, Bambang Soesatyo. Ia awalnya mengungkapkan keinginannya untuk mengamandemen konstitusi, Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Salah satu poinnya adalah mengevaluasi pemilihan presiden secara langsung.
"Pemilihan presiden secara langsung yang kita anut sekarang ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya," ujarnya, Rabu (29/5/2024) lalu.
Bamsoet, demikian sapaan karibnya, juga mengklaim telah bertemu dengan kalangan akademisi di perguruan tinggi. Selain itu, ia dan pimpinan MPR lainnya telah menemui presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Selasa (28/5/2024). Bamsoet menyatakan, SBY tidak anti dengan wacana amandemen 1945.
SBY, sambungnya, juga meminta MPR untuk mengkaji ulang pelaksanaan pemilu langsung. Elite Partai Golkar ini mengaku SBY merasa prihatin dengan pelaksanaan pemilu langsung belakangan ini yang sangat mengedepankan politik uang.
"Tetapi pesan beliau [SBY] tak boleh salahkan rakyat kita, yang perlu kita evaluasi adalah sistem kita," ungkapnya.
Baca Juga
Meski demikian, lanjutnya, sisa masa kerja MPR periode 2019-2024 tidak lebih dari enam bulan lagi. Oleh sebab itu, Bamsoet menyatakan amandemen UUD 1945 tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
Dia menyatakan MPR periode ini hanya akan memberikan rekomendasi kepada lembaga perwakilan rakyat tertinggi yang akan datang agar melakukan kajian secara menyeluruh tentang konstitusi alias UUD 1945.
Adapun Bamsoet belakangan mengklarifikasi pernyataannya. Ia mengungkapkan bahwa tidak pernah tercetus keinginan untuk mengubah pilpres secara langsung kembali kepada sistem representasi yang mandatnya diberikan kepada MPR.
Politikus Golkar itu juga menekankan bahwa sampai sekarang MPR belum bersidang. "Enggak pernah ada. Sampai sekarang kami belum bersidang,"
Di sisi lain, sejumlah perwakilan partai politik mengungkapkan bahwa sampai dengan saat ini, belum ada pembahasan ataupun keputusan dari masing-masing partai politik untuk melakukan amandemen konstitusi. "Belum ada pembicaraan parpol untuk amandemen UUD1945," tukas politikus Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dikutip dari Antara.
Jejak Kekuasaan MPR
Pilpres secara langsung dengan prinsip one man one vote, pertama kali diterapkan saat pelaksanaan pemilu 2004 lalu atau 20 tahun silam. Sebelum itu, presiden maupun wakil presiden dipilih melalui sistem representasi yang kemudian ditetapkan MPR.
Pada era rezim Orde Baru dimana presidennya selalu Soeharto, peran MPR cukup powerfull. MPR adalah lembaga tertinggi negara. Posisi presiden adalah mandataris MPR dan posisi ketua MPR biasanya berasal dari kalangan yang dekat dengan presiden.
Pada masa Orde Baru, mayoritas ketua MPR berasal dari kalangan militer. Ketua MPR yang berlatar belakang MPR di antaranya, AH Nasution (1966-1971), Daryatmo (1977-1982), Amir Machmud (1982-1987), Kharis Suhud (1987-1992) dan Wahono (1992-1997).
(Presiden Soeharto/Bisnis.com)
Sementara itu ketua MPR berlatarbelakang sipil antara lain Idam Chalid yang merupakan politikus NU (1971-977), Adam Malik dari Golkar (1977-1978), dan Harmoko (1997-1999).
Perubahan lanskap politik Indonesia pasca Soeharto kemudian memicu pembatasan kewenangan MPR. Amandemen konstitusi dilakukan. Hasilnya, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri adalah dua presiden terkahir yang pemilihannya dilakukan secara representasi di MPR.
Sementara itu, dalam konteks pilpres, MPR hanya memiliki tugas untuk melantik presiden dan wakil presiden. Sementara pemilihan presiden dan wakil presiden ditentukan langsung oleh masyarakat one man one vote.
Namun demikian, setelah 4 kali proses Pilpres secara langsung, ide-ide untuk mengembalikan kewenangan superior MPR mulai dihembuskan. Ide itu terjadi ketika proses bernegara mengalami kebuntuan. Pilpres 2024, misalnya, pernah disebut oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagai yang laing buruk dalam sejarah pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia.
Selain itu, fenomena yang paling kentara selama 20 tahun reformasi adalah terjadinya konsolidasi kekuasaan di kalangan elite politik, praktik politik dinasti yang kian massif, hingga praktik lazim jual beli suara atau money politics saat ataupun sebelum proses pemilu berlangsung. Demokrasi kemudian mengarah ke proses prosedural dibandingkan demokrasi substansial.
Isu untuk mengevaluasi proses pemilihan umum pun telah bergabung pasca Pilpres 2024 berlangsung. PDIP misalnya dalam rakernas belum lama ini menyuarakan untuk evaluasi sistem pemilu.
"Pemilu 2024 merupakan Pemilu yang paling buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan, intervensi aparat penegak hukum, pelanggaran etika, penyalahgunaan sumber daya negara, dan masifnya praktik politik uang,” tutur politikus PDIP Puan Maharani.
Demokrasi Berjalan Mundur?
Di sisi lain, Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini mengkritisi wacana tersebut. Ia mengungkapkan alasan pemerintahan masa lalu menerapkan UUD 1945 dengan menganut sistem demokrasi perwakilan itu karena mempertimbangkan literasi melek huruf, di mana bangsa Indonesia di tahun 1940 tingkat melek huruf masih di bawah 10 persen.
"Lebih 90 persen penduduk Indonesia dulu tidak mengenyam pendidikan sehingga tidak paham betul apa demokrasi itu. Maka dari itu, demokrasi sistem perwakilan yang tepat disajikan oleh pendiri bangsa pada waktu itu," tuturnya di Jakarta, Sabtu (8/6).
Dia juga menjelaskan pada masa itu, para pendiri bangsa memutuskan bahwa MPR yang terdiri dari DPR dan itusan golongan serta utusan daerah adalah penjelmaan dari rakyat secara keseluruhan dan hanya Presiden yang bisa memilih orang tersebut.
"Sekarang keadaan sudah sangat berbeda, tingkat literasi bangsa sudah 97 persen lalu mau kembali kepada undang-undang dasar 1945, apa argumennya?," katanya.
Dia berpandangan reformasi 25 tahun yang lalu telah mengubah demokrasi tersebut menjadi sistem pemilihan langsung. Namun, menurutnya yang mengagetkan seluruh rakyat Indonesia karena banyak ekses negatif politik uang, konflik dan partai-partai yang seolah tidak siap menghadapi sistem seperti ini.
"Sistem baru yang menggantikan bisa jadi menjadi lebih buruk dan menghasilkan pemimpin tiran karena bisa mengendalikan lebih mudah para anggota DPR dan MPR yang memilih presiden. Pada saat ini pun presiden dapat dengan mudah sekali untuk mengendalikan para anggota DPR melalui hanya beberapa pemimpin partainya," ujar Didik.