Bisnis.com, JAKARTA -- Sejumlah undang-undang mulai digodok di DPR. Dua undang-undang yang memicu polemik adalah UU tentang Penyiaran dan perubahan UU No.39/2008 tentang Kementerian Negara. Kedua UU itu disorot publik karena di satu sisi dianggap mengekang kebebasan pers, di sisi lainnya diduga hanya menjadi ‘alat’ untuk mengakomodasi kepentingan politik.
Menariknya, riuh rendah tentang pembahasan kedua UU tersebut berlangsung menjelang lengsernya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi adalah satu-satunya presiden berlatarbelakang sipil di era reformasi yang mampu berkuasa selama 2 periode. Dia didukung oleh koalisi besar. Lebih dari 80% partai politik yang duduk di parlemen mendukungnya pada periode kedua kepemimpinannya. Hanya satu partai yang dibiarkan menjadi oposisi, PKS.
Selama pemerintahan Jokowi, pemerintah dan DPR kerap melahirkan UU yang kontroversial mulai dari UU Cipta Kerja yang memangkas banyak hak para pekerja hingga lahirnya berbagai macam UU dalam format omnibus law (pajak dan sektor keuangan) yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia.
Ketiadaan kontrol dari legislatif dan lemahnya kekuatan penyeimbang eksekutif adalah salah satu pemicu lolosnya kebijakan-kebijakan yang penuh kontroversi, termasuk dua RUU yang dibahas di DPR belakangan ini.
"Dalam perspektif politik hukum, ini yang kami sebut sebagai autocratic legalism, yakni upaya menyandera UU demi untuk kepentingan kekuasaan semata. Tidak ada faedahnya untuk publik sama sekali," jelas pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah saaat dimintai pendapat tentang RUU Kementerian Negara, Minggu (12/5/2024).
Sementara itu, isu tentang UU Penyiaran muncul dalam beberapa pekan belakangan ini. Keriuhan UU itu pertama kali justru muncul di media sosial. Akun-akun pemerhati media menyoroti sejumlah pasal dalam UU itu yang dinilai berbahaya bagi demokrasi karena akan mengekang kebebasan pers. Salah satu isu yang disorot adalah tentang penyiaran jurnalisme investigasi.
Baca Juga
Draf RUU Penyiaran, khususnya Pasal 50B ayat (2) menyatakan: Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS [standar isi siaran] memuat larangan mengenai ... c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad berdalih bahwa munculnya substansi tentang pegaturan ‘jurnalisme investigasi’ itu dipicu oleh keinginan supaya produk jurnalisme investigasi tidak punya dampak berarti. Dasco tidak menampik aturan tersebut menuai polemik, terutama dari kalangan pers. Oleh sebab itu, DPR akan coba berkonsultasi agar bisa diambil jalan tengah.
"Kita akan konsultasi dengan kawan kawan bagaimana caranya supaya semua bisa berjalan dengan baik, haknya [sebagai jurnalis] tetep jalan, tetapi impact-nya [dampak dari jurnalistik investigasi] juga kemudian bisa diminimalisir," ujar Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).
Elite Partai Gerindra ini merasa, dampak jurnalistik investigasi perlu diminimalkan karena hasilnya tidak bisa dipastikan kebenarannya. Menurutnya, ada produk jurnalisme investigasi yang memang benar namun ada juga yang cuma setengahnya benar. "Nah itu, jadi kita akan bikin aturannya supaya sama-sama jalan dengan baik," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) TB Hasanuddin menyatakan dalam RUU Penyiaran direncanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa mengontrol penayangan produk jurnalisme investigasi yang disiarkan. Hasanuddin beralasan, produk jurnalisme investigasi kerap mengganggu kasus penyidikan yang sedang ditangani aparat penegak hukum.
"Maka sebaiknya itu sedikit penyeimbang. Lalu, bagaimana materinya ya diatur dalam aturan KPI," jelasnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).
Dia mengklaim Komisi I DPR akan menampung semua masukan. Dalam waktu dekat, lanjutnya, Komisi I dan Badan Legislasi akan melakukan rapat untuk membahas muatan dalam RUU Penyiaran. Hasanuddin pun meminta setiap pihak bersabar. Bahkan, dia menyatakan jika tidak ada urgensi maka Komisi I akan segera melakukan penyelesaian pembahasan RUU Penyiaran. Meski demikian, Hasanuddin juga membuka peluang perpanjangan pembahasan beleid tersebut.
Sementara itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Usman Kansong belum dapat memberi jawaban perihal RUU Penyiaran. Menurutnya revisi UU penyiaran di ranah DPR RI karena revisi tersebut atas inisiatif DPR.
"Silakan tanya ke DPR," kata Usman.
Debat Panas Soal Kementerian Negara
Selain amandemen RUU Penyiaran, undang-undang lain yang memicu polemik adalah pembahasan amandemen UU Kementerian Negara. UU itu telah dibahas di Badan Legislasi (Baleg). Pembahasan UU ini dituding hanya akan mengakomodasi kepentingan pemerintahan yang akan datang. Debat panas terjadi antara PDIP dengan Gerindra. Dua partai pendukung Jokowi, yang kemungkinan berbeda arah politik pada pemerintahan ke depan.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Sturman Panjaitan, misalnya, terlibat debat sengit dengan Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas terkait efektivitas kabinet 'gemuk' di pemerintahan Prabowo-Gibran.
Debat tersebut terjadi dalam rapat panitia kerja Baleg DPR yang membahas soal Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kementerian Negara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (15/5/2024).
Dalam rapat tersebut, diusulkan agar RUU Kementerian Negara tersebut tidak mengatur jumlah kementerian. Malahan, diusulkan agar jumlah kementerian ditetapkan sesuai kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Usulan aturan tersebut diusulkan ketika santer isu Prabowo ingin punya kementerian berjumlah 40. Padahal, UU Kementerian Negara mengatur maksimal kementerian berjumlah 34.
Sturman pun menyoroti efektivitas pemerintahan apabila Prabowo punyai kabinet gemuk. Dia menekankan keuangan negara yang terbatas yang kontradiktif dengan rencana penambahan jumlah kementerian.
"Berkaitan dengan efektivitas, wah berat Pak. Sementara kita enggak mampu biayain mereka semua," ujar Sturman.
Sementara itu, Supratman yang memimpin rapat langsung membalas keraguan Sturman. Menurutnya, urusan keuangan negara merupakan tanggung jawab pemerintah bukan DPR. "Pemerintah yang akan tentukan, beliau [presiden terpilih Prabowo] akan mempertanggungjawabkan tugas lima tahunan termasuk anggaran," katanya.
Meski demikian, Sturman kembali menyoroti soal efektivitas kabinet gemuk. Menurutnya, efektif saja tidak cukup melainkan juga harus efesien.
Dia ingin dalam pasal RUU Kementerian Negara ditambahkan penjelasan ihwal efesiensi dan efektivitas sebuah pemerintahan. "Jadi efisiensi perlu diperlukan juga Pak, jangan cuma efektifitas. Untuk membunuh seekor nyamuk, pakai bom itu efektif Pak, tapi enggak efisien, gitu lho," jelasnya.
Dia pun usulkan DPR ikut diminta pendapat ihwal penambahan ataupun perubahan nomenklatur kementerian/lembaga setingkat. Bagaimanapun, lanjutnya, DPR merupakan mitra kerja kementerian-kementerian.