Bisnis.com, JAKARTA — Wacana revisi Undang-undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara akhirnya sungguh terealisasi. DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) secara resmi mulai membahas revisi UU Kementerian Negara dalam rapat pleno di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (14/5/2024).
Dalam rapat pleno tersebut, tenaga ahli Baleg DPR memaparkan sejumlah rancangan materi muatan yang akan diubah dalam UU Kementerian Negara, salah satunya Pasal 15 yang membatasi jumlah kementerian.
"Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 semula berbunyi paling banyak 34 kementerian, kemudian diusulkan perubahannya menjadi, 'Ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan'," ujar presentasi tersebut.
Disebutkan, dasar revisi UU Kementerian Negara ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 79/PUU-IX/2011. Nantinya, rancangan materi yang diusulkan masih dibahas oleh fraksi-fraksi yang ada di Baleg DPR dan perwakilan dari pemerintah.
Hal itu pun diakui oleh politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera. Dia mengaku terkejut karena adanya undangan agenda rapat Baleg untuk membahas revisi UU Kementerian.
Alasannya, Anggota Badan Legislasi DPR RI khawatir penambahan jumlah kementerian pada masa pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan berdampak pada sejumlah hal. Salah satunya, jelas dia, bisa berdampak pada upaya Indonesia yang saat ini ingin menjadi negara maju dengan cara masuk ke dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Baca Juga
Menurut Mardani, penambahan jumlah kementerian oleh Prabowo dan Gibran bisa mengganggu rencana Indonesia di dalam OECD.
"Kita bisa jadi makin jauh dari reformasi birokrasi karena pembangunan institusi adalah salah satu syarat. Malah ini bisa mengganggu rencana kita masuk OECD," tuturnya di Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Mardani menilai jika jumlah kementerian di pemerintahan Prabowo-Gibran bertambah maka hal tersebut juga berdampak pada biaya pegawai dan biaya lain yang makin besar.
"Saya cuma khawatir kalau makin besar berarti biaya pegawai akan makin besar, koordinasi sinergi akan makin sulit. Kalau mau ikut jalan reformasi birokrasi, mestinya kan kementerian justru mengecil, bukan membesar,” kata Mardani.
POLEMIK
Sejak awal, wacana revisi UU Kementerian Negara ini memang menjadi polemik. Sebagian pihak berpendapat langkah itu dibutuhkan untuk untuk mengakomodasi kinerja kabinet Prabowo-Gibran, sedangkan pihak lainnya menilai langkah tersebut hanya menjadi bentuk politik balas budi atau bagi jatah kepada partai koalisi.
Wacana revisi UU Kementerian Negara paling lantang disuarakan Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani. Menurutnya, revisi UU No. 39/2008 itu akan mengakomodasi penambahan jumlah kementerian presiden terpilih Prabowo Subianto.
Muzani mengakui UU tersebut mengatur maksimal kementerian berjumlah 34. Meski demikian, belakangan muncul isu Prabowo ingin menambah kementerian menjadi 40.
"Ya, mungkin revisi itu [UU Kementerian Negara] dimungkinkan," jelas Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2024).
Menurutnya, tantangan dan masalah pemerintah kini jauh lebih kompleks. Oleh sebab itu, UU Kementerian Negara dirasa kurang fleksibel untuk menjawab berbagai tantangan baru.
Muzani menjelaskan, setiap presiden punya kebijakan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, presiden yang berbeda kerap merombak nomenklatur kementeriannya agar bisa mengakomodasi kebijakan yang ingin dibuat.
"[Sehingga] menurut saya UU kementerian itu bersifat fleksibel, tidak terpaku pada jumlah dan nomenklatur," ujarnya.
Bahkan, Muzani tidak menampik revisi tersebut bahkan bisa terjadi sebelum Prabowo dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober mendatang.
Namun, sejumlah tokoh justru beri komentar negatif ihwal isu penambahan kementerian di kabinet Prabowo lima tahun ke depan. Mantan kompetitor Prabowo dalam ajang Pilpres 2024, Mahfud Md salah satunya.
Mahfud bingung karena jumlah menteri selalu bertambah setiap selesai pemilu. Menurutnya, itu terjadi karena terlalu banyak yang dijanjikan kepada sesama elite selama pemilu.
"Menteri dulu kan 26, jadi 34, ditambah lagi. Besok pemilu yang akan datang tambah lagi jadi 60, pemilu lagi tambah lagi, karena kolusinya semakin meluas, rusak nih negara," ungkap Mahfud seperti yang disiarkan kanal YouTube Fakultas Hukum UII, Rabu (8/5/2024).
Eks ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan, seharusnya jumlah menteri dibuat sedikit mungkin seperti negara-negara demokrasi yang mapan. Menurutnya, penambahan jumlah menteri hanya akan memperbesar peluang korupsi karena setiap kementerian akan terima anggaran masing-masing.
Setali tiga uang, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin menyarankan supaya rencana tersebut perlu dikaji lebih lanjut dengan menimbang urgensinya. Dia menekankan supaya pemerintahan era Prabowo dan Gibran tetap harus diisi oleh profesional.
“Sebab, dalam menjalankan tugas, menteri-menteri itu harus profesional,” terangnya dalam keterangan pers usai menghadiri Halalbihalal Idulfitri 1445 H Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Hotel Grand Sahid Jaya, Jl. Jendral Sudirman No. 86, Jakarta Pusat, Selasa (7/5/2024).
Dalam agenda yang sama, Wapres Ke-10 dan Ke-12 Jusuf Kalla (JK) menilai penambahan nomenklatur kabinet menjadi 40 kementerian terlalu mengarah terhadap sikap politis.
Padahal, kata JK jumlah ideal pejabat menteri di Indonesia berada di angka 34 dan telah sesuai dengan amanat Pasal 15 UU Kementerian Negara.
"Itu artinya bukan lagi kabinet kerja itu namanya, tetapi kabinet yang lebih politis," katanya.
Lebih lanjut, dia menekankan bahwa komposisi kursi menteri seharusnya terus mengacu pada kepentingan publik dan tidak condong mengakomodir kepentingan dan intervensi partai politik (parpol). Bahkan, alokasi kursi menteri harus lebih banyak diduduki oleh sosok teknokrat atau profesional.
Dia pun menyarankan agar penambahan kementerian perlu dikaji secara matang, karena tentunya akan mengubah ketentuan di UU No. 39/2008.
"Lihat apa yang mau dikerjakan baru disusun organisasinya. Kalau organisasinya membutuhkan 40 kementerian, silakan. Namun 34—35 cukup, bisa digabung sebenarnya," pungkas JK.