Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) segera memeriksa bos maskapai penerbangan Sriwijaya Air, Hendry Lie (HL) dalam perkara korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS).
Hendry Lie sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut. Selain itu, pendiri Sriwijaya Air lainnya yakni Fandy Lingga (FL) turut menjadi tersangka kasus timah.
"Kalau diperiksa pasti dirilis. Kami kan tidak mau ngomong, oh besok, besok [diperiksa]. Setelah dirilis baru kami sampaikan ke media," Kapuspenkum Kejagung RI, Ketut Sumedana saat dihubungi, dikutip Senin (6/5/2024).
Lebih jauh, Ketut juga mengaku tidak mengetahui soal kondisi kesehatan dari Hendry Lie. Sebelumnya, Hendry belum sempat ditahan Kejagung karena berkaitan dengan kesehatannya.
"Saya kurang tahu kondisi yang bersangkutan. Tapi kemarin sudah dibilang sakit kan. Kalau sekarang sehat, saya tidak tahu," tambahnya.
Adapun Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Kuntadi menyampaikan peran Hendry dalam kasus timah yaitu selaku beneficiary owner dan Fandy Lingga (FL) sebagai marketing PT Tinindo Internusa (TIN).
Baca Juga
Singkatnya, untuk HL dan FL berperan dalam pengkondisian pembiayaan kerja sama penyewaan alat peleburan timah. Terlebih, agar seolah-olah aktivitas tambang itu ilegal, keduannya membentuk dua perusahaan boneka.
"HL dan FL keduanya turut serta dalam pengkondisian pembuatan kerja sama penyewaan peralatan prosesing peleburan timah sebagai bungkus aktivitas kegiatan pengambilan timah dari IUP PT Timah, dimana keduanya membentuk perusahaan boneka yaitu CV BPR dan CV SMS," ujar Kuntadi.
Sebagai informasi, Kejagung juga telah menetapkan 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk (TINS).
Ke-16 tersangka itu, mulai dari Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) hingga Harvey Moeis sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT).
Adapun, Kejagung telah bekerja sama dengan ahli lingkungan menghitung kerugian ekologis yang disebabkan oleh pertambangan timah dalam kasus ini. Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan itu mencapai Rp271 triliun.