Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan Hendry Lie (HL) selaku pendiri atau bos maskapai penerbangan, Sriwijaya Air sebagai tersangka di kasus timah. Hanya saja, HL tidak langsung ditahan.
Dirdik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI, Kuntadi menyampaikan alasan Hendry Lie tidak langsung ditahan karena berkaitan dengan kondisi kesehatannya.
"Saudara HL tidak bisa hadir karena sakit," ujarnya di Kejagung, dikutip Senin (29/4/2024).
Kendati demikian, Kuntadi menekankan bahwa pihaknya akan segera memanggil Hendry Lie dalam kapasitasnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah (TINS) Tbk.
Sementara itu, pendiri Sriwijaya Air lainnya, Fandy Lingga (FL) telah ditahan untuk kepentingan penyidikan. FL ditahan di Rutan Salemba Kejagung selama 20 hari yang dimulai pada Jumat (26/4/2024).
"FL dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung," tambahnya.
Baca Juga
Kuntadi jugs menjelaskan soal peran Hendry dan Fandy dalam kasus timah. HL selaku beneficiary owner dan Fandy Lingga (FL) sebagai marketing PT Tinindo Internusa (TIN).
Singkatnya, untuk HL dan FL berperan untuk pengkondisian pembiayaan kerja sama penyewaan alat peleburan timah. Terlebih, agar seolah-olah ilegal, keduannya membentuk dua perusahaan boneka.
"HL dan FL keduanya turut serta dalam pengkondisian pembuatan kerja sama penyewaan peralatan prosesing peleburan timah sebagai bungkus aktivitas kegiatan pengambilan timah dari IUP PT Timah, dimana keduanya membentuk perusahaan boneka yaitu CV BPR dan CV SMS," pungkasnya.
Sebagai informasi, Kejagung juga telah menetapkan 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk (TINS).
Ke-16 tersangka itu, mulai dari Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) hingga Harvey Moeis sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT).
Adapun, Kejagung telah bekerja sama dengan ahli lingkungan menghitung kerugian ekologis yang disebabkan oleh pertambangan timah dalam kasus ini. Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan itu mencapai Rp271 triliun.