Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Kapten Tim Pemenangan Anies-Imin, Sudirman Said, menilai operasi politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2024 lebih primitif dibandingkan yang dilakukan rezim Presiden Soeharto pada Pemilu 1971.
Pernyataan itu Sudirman sampaikan dalam kegiatan Bedah Buku 'NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971' karya Ken Ward yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Selasa (2/4/2024).
Awalnya, dia menceritakan pengalaman kekerasan hingga intimidasi oleh rezim Orde Baru kala Pemilu 1971. Saat itu, klaimnya, banyak pihak yang diintimidasi oleh ABRI bahkan ulama yang menolak dukung Golkar diburu serta disiksa.
Mantan menteri ESDM itu berpendapat, terjadi konsolidasi secara besar-besaran untuk memenangkan Golkar pada Pemilu 1971. Apalagi, saat itu angka buta huruf cenderung masih tinggi.
Sudirman pun membandingkan operasi politik yang dilakukan rezim Soeharto saat itu dengan pemerintah Jokowi saat ini. Bahkan, menurutnya, cara politik Jokowi lebih primitif.
"Yang saya mau sampaikan di sini adalah ada satu pondasi berpikir dan bertindak berbeda tapi melakukan hal-hal yang sama bahkan lebih primitif dari pada yang dikerjakan pada tahun 70an," ujarnya dalam diskusi.
Baca Juga
Dia menyatakan permasalahan terbesar dalam Pemilu 2024 yakni adanya peserta nomor 4 yang turut serta dalam kompetisi. Padahal, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) cuma tiga pasang.
"Nomor 1 namanya Anies-Muhaimin, nomor 2 Prabowo-Gibran, nomor 3 Ganjar-Mahfud, yang ke 4 adalah Pak Jokowi," jelasnya
Sudirman mengingatkan, Jokowi seharusnya secara etik, legal, moral, maupun konstitusional sudah akan selesai menjabat. Meski demikian, sambungnya, orang nomor satu di Indonesia cawe-cawe untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Oleh sebab itu, dia mengajak semua pihak kembali mengingat aspek moral. Sudirman tidak ingin Indonesia kembali mengulang sejarah kelamnya.
"Seluruh perubahan besar pemerintahan Pak Jokowi adalah sejarah dari 1908, 1928, 1945, 1965 sampai dengan reformasi 1998, seluruh kejadian desakannya adalah desakan karena kita ingin kembali kepada kenormalan kita ingin kembali kepada moral," tutupnya.