Bisnis.com, JAKARTA - Wacana tentang bangkitnya Dwifungsi ABRI kembali mencuat usai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar telah menyampaikan peraturan baru mengenai personel TNI/Polri bisa mengisi posisi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Peraturan baru tersebut akan disahkan pada 30 April 2024 apabila aspek-aspek substasi dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) telah terpenuhi 100 persen. Sebaliknya, ASN juga mempunyai kesempatan yang sama bisa mengisi posisi di lembaga TNI/Polri.
“RPP ini harus bisa transformatif dan tentunya implementatif di lapangan sebagaimana arahan Bapak Presiden. Setelah 100 persen aspek terpenuhi, targetnya 30 April 2024 sudah ditetapkan,” ujar Anas dalam keterangan resmi, Selasa (12/3/2024).
Namun, peraturan baru terkait personel TNI/Polri bisa menempati posisi ASN mendapatkan respon ramai dari masyarakat melalui komentar di media sosial, mereka beranggapan peraturan baru itu akan kembali memberlakukan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin pun menanggapi respon masyarakat mengenai kebangkitan Dwifungsi ABRI, dirinya menegaskan tidak memungkinkan muncul kembali Dwifungsi ABRI seperti masa Orde Baru.
"Kemungkinan [posisi ASN] itu bisa diisi tetapi tentu dengan batasan-batasan, yang pasti itu sudah disiapkan tidak lagi jadi kemungkinan munculnya dwifungsi TNI atau dwifungsi ABRI seperti dulu itu," ujar Wapres di sela acara pembukaan Kepulauan Riau Ramadhan Fair (Kurma) 2024 di Tanjungpinang, Kepri, Jumat (15/3/2024).
Baca Juga
Ma'ruf Amin juga menyampaikan posisi ASN untuk personel TNI/Polri ada batasannya dan disesuaikan dengan kebutuhannya. Bahkan, pihak pemerintah juga sudah membicarakan terkait kebutuhan yang dimaksud dengan pihak lembaga legislatif/DPR.
Lantas, apa itu Dwifungsi ABRI? Dan bagaimana asal-usulnya?
Definisi Dwifungsi ABRI
Berdasarkan SK. Menhankam Pangab No. Skep 614/VI/1982 No. Skep/614/VI/1982 Tanggal 1 Juni 1982, dalam tesis berjudul Perkembangan dan Pelaksanaan Dwifungsi ABRI dalam Rangka Melestarikan Pancasila (Suatu Tinjauan Pada Masa Orde Baru) yang ditulis oleh A. Tahier, Dwifungsi ABRI adalah fungsi yang melekat dan dimiliki pada seluruh prajurit ABRI sebagai kekuatan hankam dan kekuatan sosial politik dalam rangka perjuangan nasional untuk mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Seperti diketahui, militer memiliki peran yang sangat besar memperjuangkan bangsa dari penjajahan sehingga Indonesia mencapai kemerdekaan. Bahkan, mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda.
Konsep Dwifungsi ABRI pertama kali dicetuskan oleh Jenderal A.H. Nasution yang terinspirasi dari pemikiran Karl von Clausewitz mengenai perang bukan hanya aktivitas militer saja, tetapi bisa menjadi tindakan politik dengan cara lain.
Jenderal A.H. Nasution menginginkan ABRI berhak dilibatkan dalam pemerintahan eksekutif maupun legislatif dengan diakui secara mutlak di dalam kabinet dan Dewan Nasional.
Konsep Dwifungsi ABRI atau dikenal Jalan Tengah dirumuskan pada acara dies natalis Akademi Militer Nasional (AMN) yang diselenggarakan di Magelang pada 11 November 1958.
Jalan Tengah diartikan dengan ABRI tidak ingin hanya menjadi alat pemerintah, tetapi ABRI harus dilibatkan ke dalam pemerintahan ketika menyusun kebijakan politik.
Dwifungsi ABRI Era Orde Baru
Konsep Dwifungsi ABRI awalnya hanya ingin melibatkan ABRI dan tidak mendominasi di segala aspek pemerintahan. Namun, pada masa Orde Baru penerapan Dwifungsi ABRI berubah, militer mendominasi segala aspek pemerintahan.
Dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik, ditulis oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, ABRI menempati posisi sipil mencapai 53,5% pada tahun 1977 hingga tahun 1980 karyawan ABRI mencapai 16.800 orang.
Kritikan pun muncul dari para purnawirawan, salah satunya Letnan Jenderal (Purn.) T.B. Simatupang yang mengkritik keterlibatan militer dalam pemerintahan akan menimbulkan kudeta.
Fungsi ABRI pada masa Orde Baru mengakibatkan hubungan tidak harmonis antara sipil dan militer karena terlalu ikut mencampuri urusan sipil dengan negara. Bahkan, ketika militer memegang kekuasaan sering terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Setelah kekuasaan rezim Soeharto dan Orde Baru runtuh, Dwifungsi ABRI perlahan-lahan dihapuskan.
Tepatnya, pada masa pemerintahan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Dwifungsi ABRI dicabut sehingga militer tidak bisa menempati posisi sipil. (Ahmadi Yahya)