Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengusut kasus dugaan korupsi di balik kebocoran eksportasi bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton ke China.
Dugaan 'penggelapan' nikel RI ke China terjadi sekitar tahun 2020-2023. Padahal, bijih nikel atau ore nikel sebelumnya sudah dilarang untuk diekspor oleh pemerintah Indonesia sejak 2020.
Bisnis telah menulis laporan kabar bahwa temuan Satgas Korsup KPK itu sudah ditelisik oleh Kedeputian Penindakan KPK. Laporan itu juga memuat informasi tentang potensi royalti terutang dari pengiriman nickel ore oleh perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) besi di Kalimantan Selatan.
"Iya. Tahapnya kan masih penyelidikan, tetapi informasi lebih lanjut belum dipaparkan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Pada tahap penyelidikan, kini tim KPK sudah mulai memanggil beberapa pihak terkait untuk dimintai keterangan.
Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, setidaknya ada dua pejabat setingkat direktur pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang sudah dipanggil KPK terkait dengan penyelidikan tersebut.
Baca Juga
Namun, saat dikonfirmasi lebih lanjut, Alex mengaku belum mengetahui pemanggilan itu.
"Kabarnya kan? Berarti sudah dengar kabarnya kan? Saya malah belum dengar kabarnya itu," ujar pimpinan KPK dua periode itu.
Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango juga enggan memerinci lebih lanjut siapa dua pejabat Bea Cukai itu, dan apa yang didalami dari mereka.
Saat dikonfirmasi mengenai pemanggilan dua pejabat Bea Cukai, Nawawi hanya menyebut bahwa kasus itu sudah naik ke tahap penyelidikan.
"Kalau ada yang dipanggil semacam itu ya kalau enggak di tahap penyelidikan ya di tahap penyidikan," ujarnya, Selasa (27/2/2024).
Secara terpisah, Bisnis juga sudah mencoba mengonfirmasi ke pihak Bea Cukai mengenai kabar tersebut yakni ke Direktur Komunikasi dan Bimbingan Jasa Bea Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto. Namun, dia belum memberikan respons sampai dengan berita ini dinaikkan.
POTENSI ROYALTI TERUTANG
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menjelaskan bahwa ada potensi royalti terutang dalam pengiriman nikel ke China, sebagaimana temuan Satgas Korsup V KPK.
Untuk diketahui, Satgas Korsup V menemukan bahwa pihak Bea Cukai China masih mencatat adanya penerimaan komoditas nikel dari Indonesia selama 2020-2023. Padahal, pemerintah RI sudah melarang ekspor bijih nikel demi meningkatkan hilirisasi mineral di dalam negeri.
Pahala awalnya menjelaskan bahwa data impor bijih nikel di China dari Indonesia, terjadi karena perubahan klasifikasi barang.
Berdasarkan pertukaran informasi antara KPK dan Bea Cukai China, melalui bill of lading (BL), terdapat 83 kali pengiriman pasir besi ke China dari PT SILO di Indonesia.
Dari 83 BL, pihak Bea Cukai China hanya memberikan akses kepada Bea Cukai Indonesia untuk 72 BL. Setelah ditelisik lebih dalam, ada sebanyak 62 BL yang menunjukkan kandungan nikel pada pasir besi yang diekspor dari Indonesia. Rata-rata kadar mineral nikel yang ada di pasir besi itu mencapai sekitar 0,9%.
Dalam kasus ini, PT SILO hanya tercatat sebagai perusahaan dengan IUP pasir besi. Adapun mineral-mineral lain yang ikut terkirim ke luar negeri, terutama jika kadarnya rendah dalam hal ini nikel, tak bisa dikenakan royalti.
Berdasarkan perhitungan Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK, potensi terutang royalti ekspor nikel itu sekitar Rp41 miliar. Laporan Bisnis sebelumnya mengenai isu ini pernah memuat skenario penghitungan total nilai ekspor nikel dimaksud.
Berdasarkan data laman resmi aman resmi General Administrations of Customs of the Republic of China (GACC), negara tersebut mengimpor bijih nikel dari Indonesia senilai 3,39 juta ton atau senilai US$193,3 juta pada 2020 atau tahun pertama pelarangan ekspor dari Indonesia.
Angka importasi bijih nikel itu lalu turun menjadi 839.161,2 ton senilai US$48,14 juta pada 2021. Namun demikian, jumlah importasi mengalami kenaikan menjadi 1,08 juta atau senilai US$54,63 juta pada tahun 2022. Kemudian, impor nikel dari Indonesia berlanjut setidaknya hingga Juni 2023 sebanyak 245.823 ton atau senilai kurang lebih US$11,6 juta.
Total eksportasi impor bijih nikel 2020 hingga pertengahan 2023 tercatat sebanyak 5,31 juta ton senilai US$307,8 juta atau kurang lebih Rp4,6 triliun (kurs 15.000 per dolar AS). Jika dikali dengan rata-rata 0,9% kadar nikel berdasarkan 62 BL Bea Cukai China, maka potensi royalti terutang benar mencapai Rp41,4 miliar.
Pahala sendiri mengatakan bahwa nilai itu berasal dari royalti yang seharusnya bisa dikenakan oleh pemerintah Indonesia. Namun, faktanya regulasi di Indonesia hanya memungkinkan pengenaan royalti pada mineral yang diekspor sesuai dengan IUP-nya saja. PT SILO tidak bisa dikenakan royalti ekspor nikel karena hanya memegang IUP pasir besi.
"[Angka Rp41,4 miliar ini] hanya menunjukkan bagaimana sistem kita bisa diakalin orang, sehingga negara tidak maksimum [dalam hal pemasukan royalti]. Ini sistemnya yang kita mau usulkan dirubah, jadi kalau [perusahaan memegang IUP] pasir besi, kenakan [royalti] pasir besi. Tetapi kalau ada mineral ikutan, kenakan juga mineral-nya yang signifikan," jelasnya.