Bisnis.com, JAKARTA -- Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara No.116/PUU-XXI/2023 bukan meniadakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Pemilihan Umum (Pemilu) 2029.
MK sebelumnya memutus bahwa ketentuan ambang batas parlemen 4% tidak berlaku di Pemilu 2029 pada sidang pleno pembacaan putusan No.116/PUU-XXI/2023, Kamis (29/2/2024). Putusan itu terkait dengan pengujian pasal 414 ayat (1) Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilu.
Enny mengatakan bahwa MK memutuskan bahwa threshold dan besaran angka persentasenya diserahkan ke pembentuk UU. Harapannya, pembuat kebijakan bisa menentukan threshold yang rasional dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif.
"Sehingga dapat meminimalkan disproporsionalitas yang semaking tinggi dan menyebabkan suara sah yang terbuang," katanya melalui pesan singkat kepada wartawan, Jumat (1/3/2024).
Menurut Enny, sistem proporsional digunakan namun tidak otomatis membuat hasil Pemilu proporsional. Oleh karena itu, dia menilai Pemilu 2024 harus sudah menggunakan threshold baru yang dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Adapun perkara No.116/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati.
Baca Juga
"Dalam pokok permohonan, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2024).
Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, "Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".
MK menyatakan norma pasal tersebut konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.
Kendati demikian, norma pasal tersebut dinyatakan konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024. Artinya, ambang batas 4% tetap berlaku pada kontestasi pemilu tahun ini.
Sebelumnya, Perludem mempermasalahkan bahwa penerapan parliamentary threshold tersebut menyebabkan hilangnya suara rakyat atau besarnya suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.
Mahkamah akhirnya menilai ketentuan ambang batas tersebut tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.