Bisnis.com, JAKARTA - Relawan Paslon Nomor 2 Prabowo-Gibran mengklaim mendapatkan keuntungan elektoral dari film Dirty Vote yang viral di media sosial.
Ketua Umum Relawan Arus Bawah Jokowi, Michael Umbas menegaskan masyarakat sudah cerdas dan tidak bisa dipengaruhi oleh film Dirty Vote tersebut. Menurutnya, masyarakat bakal memilih paslon Prabowo-Gibran meskipun serangan dari film Dirty Vote tersebut cukup masif.
"Masyarakat malah akan memilih paslon 02, ketika upaya serangan makin masif justru kami mendapat keuntungan elektoral dari situ," tuturnya di Jakarta, Senin (12/2).
Michael mengatakan bahwa film Dirty Vote tersebut hanya menyampaikan sejumlah opini yang dikumpulkan dari media massa. Dia menyarankan agar film Dirty Vote juga menyampaikan fakta yang empirik jika memang ada kecurangan dalam Pemilu 2024.
"Itu hanya dugaan-dugaan saja yang tidak ada faktanya, ini orkestrasi hanya untuk kepentingan elektoral semata," katanya.
Dia menilai bahwa yang dirugikan dari film Dirty Vote tersebut adalah demokrasi itu sendiri di Indonesia. Menurutnya, film Dirty Vote tersebut juga tidak menghargai semua tahapan pemilu.
Baca Juga
"Lalu pada akhirnya yang rugi yaitu proses demokrasi itu sendiri dan bukan paslon lain, kalau ini dibiarkan begitu saja, berarti kita tidak menghargai tahapan-tahapan pemilu ini," ujarnya.
Dirty Vote, sebuah film dokumenter dari tiga pakar hukum tata negara seketika viral dan menjadi pembahasan publik setelah diluncurkan, Minggu (11/2/2024).
Film dokumenter yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono ini menjadi sorotan lantaran mengungkap indikasi kecurangan pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Apalagi, film ini dirilis pada hari pertama masa tenang yang sejatinya akan berlangsung selama tiga hari yakni pada 11–13 Februari atau sehari sebelum hari pemilihan pada 14 Februari 2024.
Secara keseluruhan, film dokumenter Dirty Vote, yang tayang di akun YouTube Dirty Vote, berisi tiga pandangan dari ahli hukum tata negara yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.
"Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi," demikian keterangan resmi terkait peluncuran dokumenter tersebut, Minggu (11/2/2024).