Bisnis.com, JAKARTA -- Saat ini Indonesia tengah menjelang pesta demokrasi, di mana para politikus berlomba untuk mendapatkan suara. Mulai dari pasang gimik "Gemoy", "Tabrak Prof", sampai "Slepet!" digembar-gemborkan selama masa kampanye.
Lantas bagaimana cara yang paling tepat untuk melakukan kampanye politik untuk memenangkan hati dan suara rakyat, di tengah teknologi informasi yang terus berkembang?
Penulis buku Personal Branding for Politician Yusohady membagikan cara dan kiat membranding untuk para politisi atau politikus.
Dalam buku ini, Yuswohady, banyak menyebutkan cara-cara hingga teori berpolitik yang baik dan benar di tengah perkembangan teknologi informasi saat ini.
Pasalnya, dengan adanya media sosial dan internet yang makin cepat kerjanya, saat ini para tokoh politik sejatinya tak bisa lagi berkampanye seperti dulu, karena masyarakat sudah bisa mengakses begitu banyak informasi hingga tak ada lagi aib yang bisa ditutupi.
Yuswohady menganalisis situasi yang dialami politisi saat ini, di mana mereka harus melakukan "Marketing Politik". Karena dengan berbagai informasi sampai masa lalu yang dapat diakses itu menjadi tantangan personal branding dalam politik, dan sekarang semua orang bisa jadi jurnalis, investigator, sehingga bisa mencari info sendiri.
Baca Juga
Satu aspek yang disampaikan dalam buku ini bahwa penting melakukan marketing politik, poltisi harus menunjukkan sisi yang unik, otentik, mengejutkan, kontroverisal, lain dari yang lain, dan lainnya, tidak bisa hanya info yang biasa saja.
Money Politic atau politik uang juga menjadi keresahan yang dibawa dalam buku ini. Bahwa money politic masih diterima oleh 60% pemilih di Indonesia, dan hal ini masih menjadi budaya, serta cara kampanye yang efektif bagi para politisi untuk mendapatkan suara.
Selain itu, buku ini juga menunjukkan srategi-strategi personal branding dari para politisi, katakanlah para calon presiden dan wakil presiden untuk pilpres 2024, serta berbagai tokoh politik yang pernah mencalonkan diri sebelumnya.
Buku ini bisa menjadi pencerahan bagi para calon politikus yang bakal mencalonkan diri untuk tak lagi "hard selling", menampilkan foto di mana-mana dan minta dipilih, tanpa masyarakat tahu apa tujuan dan gagasan yang jelas.
Kemudian, buku ini juga memberikan gambaran bahwa Brand Awareness dengan pasang baliho di mana-mana dan Personal Branding belum cukup untuk membuat masyarakat ingin memilih mereka sebagai wakil rakyat.
Buku ini menjelaskan apakah yang para politisi lakukan untuk berkampanye saat ini, yang umumnya masih menggunakan gaya lama, masih relevan dilakukan.
Hal menarik lainnya, Yuswohady dan timnya juga menampilkan data-data terkait dengan cara para politisi berkomunikasi, dan seberapa besar pengaruh mereka di masyarakat.
Data-data itu disebut Potret Digital, yang menampilkan mulai dari jumlah pengikut di media sosial, seberapa besar interaksi yang terjadi dengan masyarakat, dan persepsi mereka di masyarakat.
Untuk waktu dekat, data-data tersebut juga bisa dijadikan acuan untuk memilih presiden dan wakil presiden pada saat pemilu nanti.