Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Debat Rasio Pajak dan Setumpuk Catatan tentang Penerimaan Pajak

Debat tentang rasio pajak antara Gibran dan Mahfud MD membuka diskursus publik tentang posisi stategis penerimaan pajak dalam struktur APBN.
Annasa Rizki Kamalina, Surya Dua Artha Simanjuntak
Rabu, 27 Desember 2023 | 12:00
Gibran dan Mahfud MD dalam Debat Cawapres 2024, 22 Desember 2023/tangkapan layar Youtube/Novita Sari Simamora
Gibran dan Mahfud MD dalam Debat Cawapres 2024, 22 Desember 2023/tangkapan layar Youtube/Novita Sari Simamora

Bisnis.com, JAKARTA -- Debat calon wakil presiden atau cawapres Jumat lalu menyisakan sejumlah catatan. Apalagi jika melihat perdebatan tentang rasio pajak antara cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka dengan cawapres nomor urut 3, Mahfud MD.

Rasio pajak adalah persoalan yang cukup penting, karena ini berkaitan dengan kesehatan anggaran negara. Namun demikian, sepanjang sejarah pemilihan umum atau Pemilu, baru kali ini isu tentang rasio pajak atau tax ratio menjadi perdebatan yang cukup serius. Sebelumnya rasio pajak hanya menjadi penghias di visi misi para capres dan cawapres.

Awal mula perdebatan itu terjadi ketika Mahfud MD mempertanyakan target rasio pajak atau rasio penerimaan negara yang dipaparkan Gibran Rakabuming Raka. Seperti diketahui, Prabowo Gibran menargetkan rasio pajak sebesar 23 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka 23 persen itu kemudian diluruskan bukan rasio pajak, dalam arti rasio penerimaan pajak dengan PDB, melainkan rasio penerimaan negara terhadap PDB.  

Mahfud menganggap bahwa angka 23 persen dianggap tidak realistis dan dikhawatirkan memicu perburuan massif terhadap wajib pajak, mengharuskan pertumbuhan ekonomi yang ofensif, dan tentu saja menggenjot penerimaan pajak yang basis kepatuhan wajib pajaknya masih di kisaran 86 persen.

“23 Persen itu dari apa, dari PDB dari APBN, atau apa? Hati-hati lho.. pajak itu sensitif kalau dinaikkan,“ tanya Mahfud MD dalam debat Jumat pekan lalu.

Adapun Gibran menjawab bahwa peningkatan rasio pajak itu akan dilakukan dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang berada di bawah langsung Presiden, perluasan basis pajak supaya tidak berburu di kebun binatang, hingga upaya meningkatkan supaya para UMKM atau pelaku usaha naik kelas.

“Kita ini tidak ingin berburu dalam kebun binatang, kita ingin memperluas kebun binatangnya, kita tanami, binatang kita gemukkan, artinya membuka dunia usaha baru,” jelas Gibran.

Kondisi Struktur Pajak Saat Ini

Target rasio penerimaan negara sebanyak 23 persen dan rasio pajak sebesar 18 persen sebenarnya bisa dicapai asalkan segala reformasi perpajakan yang dilalukan oleh pemerintah berjalan sesuai dengan pipeline ditambah pemerintah bisa mengerek pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.

Persoalannya, catatan Bisnis, setidaknya ini dalam 5 tahun terakhir, basis pajak Indonesia masih sangat rendah. Saat ini dari total populasi sebanyak 278 juta orang, yang tercatat sebagai wajib pajak hanya 70,2 juta (tahun 2022) atau sekitar 25,1 persen. Sementara jumlah orang yang wajib menyampaikan surat pemberitahuan atau SPT hanya 19,07 juta.

Menariknya, dari jumlah wajib SPT tersebut, orang yang patuh melaporkan SPT (rasio kepatuhan WP) hanya sebanyak 16,5 juta atau sekitar 86,8 persen. Kendati telah mencapai standar OECD, namun jika dibandingkan dengan total populasi, jumlah orang yang patuh SPT hanya 5,9 persen atau 23,5 persen jika dihitung dari total WP.

Jumlah Wajib Pajak/Laporan Tahunan DJP 2022
Jumlah Wajib Pajak/Laporan Tahunan DJP 2022

Angka itupun jika diperinci, kepatuhan terbesar adalah wajib pajak (WP) orang pribadi karyawan. Rasio kepatuhan WP karyawan mencapai 93,71 persen. Sementara itu kepatuhan wajib pajak badan hanya 67,15 persen dan wajib pajak OP non karyawan atau WP orang kaya hanya sebesar 69,1 persen.

Sejalan dengan profil kepatuhan pajak, struktur penerimaan pajak juga masih menunjukkan ketimpangan. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga November 2023 menunjukkan bahwa WP OP karyawan menyumbang penerimaan pajak lebih besar dibandingkan dengan WP OP nonkaryawan atau WP OP orang kaya.

Total kontribusi WP karyawan ke penerimaan pajak mencapai 11 persen. Sedangkan WP orang kaya hanya sebesar 0,7 persen. Adapun WP badan hanya sebesar 22,6 persen. Sisanya adalah pajak konsumsi seperti PPN dalam negeri yang berkontribusi sebesar 24 persen dan PPN impor sebanyak 13,8 persen.

Tax Amnesty Gagal?

Pemerintah sejatinya telah berupaya memperbaiki struktur penerimaan pajak dengan mengeluarkan banyak kebijakan, salah satunya pengampunan pajak alias tax amnesty. Ada dua kali tax amnesty. Hasil tax amnesty jilid pertama sempat digadang-gadang tertinggi di dunia. Namun jika melihat data realisasinya, capaian itu masih jauh panggang dari api.

Sekadar catatan, selama sembilan bulan pelaksanaannya, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.

Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Bisnis mencatat, dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. 

Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dai 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.

Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

Catatan Rasio Pajak

Di sisi lain, berbagai macam masalah struktural itu mengakibatkan rasio pajak mengalami tidak pernah menembus angka baseline IMF di angka 15 persen.

Berdasarkan catatan Bisnis rasio pajak, dalam arti penerimaan pajak dibanding PDB, selama 5 tahun terakhir tidak pernah menembus angka 11 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Pada tahun 2019, misalnya, rasio pajak hanya di kisaran 8,4 persen, angka ini tergerus pada tahun berikutnya karena pandemi Covid-19 menjadi 6,9 persen, pada 2021 rasio pajak naik menjadi 9,1 persen. Pada tahun 2022 naik menjadi 10,3 persen.

Namun demikian, tahun 2022 perlu menjadi catatan, karena terjadi lonjakan komoditas, sehingga hampir semua penerimaan memperoleh berkah dari kenaikan harga komoditas. Lantas bagaimana dengan rasio pajak atau rasio penerimaan negara 23 persen?

Dosen Ilmu Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM Adrianto Dwi Nugroho menyampaikan untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu elaborasi lebih lanjut apakah angka tersebut akan dicapai dalam kurun waktu masa jabatan presiden atau dalam periodisasi lainnya. 

“Dari sisi perpajakan, pencapaian angka tersebut menurut saya akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, inklusivitas UMKM dalam sistem perpajakan nasional,” ujarnya, dikutip Minggu (24/12/2023). 

Menurutnya, jangka waktu pemberian fasilitas perpajakan bagi UMKM harus dibatasi oleh waktu, sehingga setelah masa pemberian fasilitas selesai, mereka akan menjadi pembayar pajak yang utuh. 

Kedua, pemanfaatan teknologi digital dalam lalu lintas pembayaran dan administrasi perpajakan juga akan mampu menutup sebagian kebocoran penerimaan negara yang terjadi akibat penggunaan uang kartal sebagai metode pembayaran.

 Ketiga, penegakan hukum yang efisien namun berkeadilan juga akan mampu menambah penerimaan negara. Hal yang menjadi masalah utama penegakan hukum pajak saat ini, terletak pada backlog sengketa pajak di Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung. 

 “Ini menyebabkan upaya peningkatan penerimaan negara terhambat, karena sengketa pajak dapat menangguhkan pembayaran pajak terutang. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi tax ratio dari sisi penerimaan pajak [komponen pembilang pada perhitungan tax ratio],” lanjutnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper