Bisnis.com, JAKARTA – Ikatan Alumni (ILUNI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengingatkan akan adanya potensi tindakan korupsi apabila capres-cawapres tidak mundur dari jabatan publik yang masih diemban.
Diketahui, cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar masih mengemban jabatan sebagai Wakil Ketua DPR. Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto masih menduduki posisi Menteri Pertahanan (Menhan), didampingi Gibran Rakabuming Raka yang juga masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.
Adapun, cawapres nomor urut 3 Mahfud MD juga masih berstatus sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).
Perwakilan ILUNI FHUI Julius Ibrani memaparkan bahwa aktivitas sosok-sosok tersebut sebagai pejabat publik tidak bisa disamakan dengan aktivitas sebagai peserta Pilpres 2024, karena pejabat publik didanai oleh rakyat.
"Sepanjang masih menjadi pejabat, ketika pembiayaannya sebagai pejabat dari rakyat, tidak boleh terjadi penyelewengan jabatan. Tidak boleh terjadi pemanfaatan di luar itu, karena itu adalah titik awal dari praktik korupsi," katanya dalam konferensi pers di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat pada Jumat (8/12/2023).
Menurutnya, permasalahan ini bukanlah hal sederhana, karena berkaitan dengan integritas sebagai pejabat publik yang bertanggung jawab kepada rakyat.
Baca Juga
Pria yang juga merupakan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ini mengatakan hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi Indonesia, ketika pejabat yang masih aktif memanfaatkan fasilitas negara demi tujuan lain.
Itu sebabnya, pihaknya menuntut agar pejabat publik yang masih ada dalam masing-masing paslon untuk mundur dari jabatannya.
"Kecuali ada deklarasi, pernyataan bahwa kampanye tidak menggunakan fasilitas negara, bukan plat merah. Tapi kemungkinannya kecil," pungkas Julius.
Diberitakan sebelumnya, Ikatan Alumni (ILUNI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mendesak capres-cawapres yang masih mengemban jabatan publik untuk mundur dari jabatannya.
Ketua ILUNI FHUI Rapin Mudiardjo mengatakan bahwa hal ini berkaitan erat dengan permasalahan etika dan moralitas sebagai pejabat publik, begitu pula dengan adanya potensi konflik kepentingan.
“Jika dikaitkan dengan adanya potensi konflik kepentingan atas jabatan yang diemban, maka secara etika, sudah sepatutnya para kandidat menentukan sikap tegas untuk mundur,” katanya.