Bisnis.com, JAKARTA - Unit Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyerbu dan mengepung Rumah Sakit (RS) Al-Shifa di Jalur Gaza, dengan operasi yang berlanjut di sayap Barat gedung.
Rumah sakit tersebut terputus dari layanan internet dan pasokan listrik sesaat sebelum serangan Israel. Para jurnalis yang hadir di dekat gedung rumah sakit kemudian ditahan oleh tentara Israel.
Alasan Israel menyerang rumah sakit itu, karena meyakini bahwa Hamas menggunakan gedung rumah sakit sebagai markasnya. Pengepungan oleh Israel dimulai sejak Rabu (8/11/2023).
Selain itu, fasilitas medis tersebut juga diklaim Israel memiliki pintu masuk ke jaringan bunker dan terowongan bawah tanah, tempat sekitar 200 orang radikal Hamas bersembunyi.
Melansir TASS, Israel juga percaya bahwa sejumlah sandera Israel yang jumlahnya tidak diketahui mungkin ditahan di terowongan bawah tanah rumah sakit tersebut.
Sementara itu, penembak jitu juga bersiap untuk menembak siapapun yang masuk dan keluar rumah sakit. Operasi ambulans juga terhenti.
Baca Juga
Selain menyerang rumah sakit, Israel juga membombardir tempat ibadah di Gaza, Palestina. Setidaknya lebih dari 60 masjid di wilayah konflik tersebut hancur sejak serangan 7 Oktober 2023.
Melansir Wafa, kerusakan masjid terus bertambah setelah Israel melancarkan serangan udara yang menghancurkan Masjid al-Salam di lingkungan Sabra, Kota Gaza bagian utara.
Israel sebelumnya juga menembakkan rudal dan menghancurkan Masjid Khalid bin Walid dan Al-Ikhlas di Khan Younis pada Rabu (8/11/2023) waktu setempat.
Sementara, bantuan kemanusiaan yang ingin memasuki Gaza juga tersendat, karena harus melewati pemeriksaan yang ketat oleh pihak Israel hingga bisa sampai ke depan pintu Rafah, yakni pintu perbatasan Mesir dengan Gaza.
Menteri Energi Israel Katz mengatakan tidak akan ada saklar listrik yang akan dinyalakan, tidak ada hidran air yang akan dibuka, dan tidak ada truk bahan bakar yang akan masuk ke Gaza, sampai sandera dibebaskan, pada 13 Oktober lalu.
Penyerangan Israel ke rumah sakit dan tempat ibadah, serta mempersulit masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, Palestina, tentunya telah melanggar Hukum Humaniter Internasional (HHI).
Langgar Konvensi Jenewa
Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta Hestutomo Restu Kuncoro menjelaskan, ulah Israel yang menyerang rumah sakit dan tempat ibadah di Gaza, bentuk pelanggaran hukum internasional.
"Menurut hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa Keempat 1949 dan Konvensi Den Haag 1907, serangan terhadap rumah sakit dan tempat ibadah yang digunakan untuk tujuan medis atau keagamaan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum perang," ucapnya.
Pasal-pasal relevan dalam konteks yang dilanggar tersebut, antara lain:
- Pasal 18 Konvensi Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat (1907)
Pasal ini melarang serangan terhadap rumah sakit, tempat medis, dan tenaga medis yang mengumpulkan, merawat, dan mengevakuasi orang yang terluka dan sakit dalam konflik bersenjata.
- Pasal 19 Konvensi Den Haag tentang Penghormatan terhadap Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat (1907)
Pasal ini melarang serangan terhadap tempat ibadah yang digunakan untuk beribadah dalam konflik bersenjata.
- Pasal 33 Konvensi Jenewa Keempat (1949)
Pasal ini melarang tindakan kekerasan, perlakuan tidak manusiawi, atau segala bentuk kekejaman terhadap orang-orang yang terluka, sakit, atau terdampar selama konflik bersenjata, dan pasal ini memberikan perlindungan khusus bagi rumah sakit dan tempat ibadah yang digunakan untuk perawatan mereka.
"Serangan terhadap rumah sakit dan tempat ibadah yang digunakan untuk tujuan medis atau keagamaan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum perang, kecuali jika mereka digunakan secara aktif untuk tujuan militer oleh pihak bersenjata yang berkonflik," katanya.
Dia menjelaskan maksud dari pernyataannya, bukan merawat tentara, tetapi jika rumah sakit dan tempat ibadah digunakan untuk memasang instalasi pertahanan, menyimpan senjata, dan sebagainya.
Selanjutnya, dia menjelaskan pelarangan masuknya bantuan kemanusiaan saat perang di Gaza menyalahi hukum internasional, yakni Konvensi Jenewa Keempat 1949.
Dia menjelaskan bahwa menurut hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa Keempat 1949, penduduk
sipil dan mereka yang tidak berpartisipasi dalam pertempuran harus dilindungi dan
harus diberikan akses kepada bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, obat-obatan, dan perawatan medis.
Menurutnya, pasal-pasal relevan dalam konteks tersebut yang telah dilanggar Israel, antara lain:
- Pasal 3 Konvensi Jenewa Keempat (1949)
Pasal ini mengatur perlindungan terhadap orang-orang yang tidak mengambil bagian secara aktif dalam permusuhan, termasuk warga sipil. Dia menjelaskan bahwa konvensi ini melarang perlakuan kejam dan memerintahkan penyediaan perawatan dan perlindungan yang layak.
- Pasal 55 Konvensi Jenewa Keempat (1949)
Pasal ini mengatur kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk memastikan penyediaan makanan dan obat-obatan bagi warga sipil yang membutuhkan. Dia menjelaskan bahwa bantuan kemanusiaan harus diizinkan dan diberikan tanpa penundaan.
- Pasal 59 Konvensi Jenewa Keempat (1949)
Pasal ini menetapkan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat konflik untuk memfasilitasi kerja Palang Merah dan organisasi kemanusiaan serupa dalam memberikan bantuan kepada warga sipil yang terkena dampak konflik.
"Pembatasan terhadap akses bantuan kemanusiaan ke Gaza saat perang berlangsung dapat
dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional, terutama jika akses tersebut disengaja dan tidak dapat dibenarkan dalam hal keamanan militer yang sah," ujarnya.
Konvensi Jenewa 1949
- Konvensi Jenewa Pertama
Berdasarkan laman resmi Komite Palang Merah Internasional (ICRC), Konvensi Jenewa Pertama, dibuat untuk melindungi tentara yang terluka dan sakit di darat selama perang.
Konvensi ini merupakan versi keempat yang diperbarui dari Konvensi Jenewa tentang orang yang terluka dan sakit setelah pada tahun 1864, 1906 dan 1929.
Konvensi ini memuat 64 pasal. Hal ini memberikan perlindungan bagi yang terluka dan sakit, tetapi juga bagi petugas medis dan keagamaan, unit medis dan transportasi medis. Konvensi juga mengakui lambang-lambang khusus.
Terdapat dua lampiran yang berisi rencana perjanjian terkait zona rumah sakit dan model kartu identitas untuk tenaga medis dan keagamaan.
- Konvensi Jenewa Kedua
Selanjutnya, Konvensi Jenewa Kedua melindungi personel militer yang terluka, sakit, dan karam di laut selama perang. Konvensi ini menggantikan Konvensi Den Haag tahun 1907 tentang Adaptasi Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Maritim. Struktur dan isinya mengikuti ketentuan Konvensi Jenewa pertama.
Terdapat 63 pasal yang khusus diterapkan pada perang di laut. Misalnya, melindungi kapal rumah sakit. Terdapat satu lampiran yang berisi model kartu identitas untuk tenaga medis dan keagamaan.
- Konvensi Jenewa Ketiga
Lalu, Konvensi Jenewa Ketiga, berlaku bagi tawanan perang. Konvensi ini menggantikan Konvensi Tawanan Perang tahun 1929.
Konvensi ini memuat 143 pasal sedangkan Konvensi 1929 hanya memuat 97 pasal. Kategori orang yang berhak atas status tawanan perang bertentangan sesuai dengan Konvensi I dan II.
Kondisi dan tempat terpencil didefinisikan secara lebih tepat, khususnya berkaitan dengan pekerjaan para tawanan perang, sumber daya keuangan mereka, bantuan yang mereka terima, dan proses peradilan yang dilakukan terhadap mereka.
Konvensi ini menetapkan prinsip bahwa tawanan perang harus dibebaskan dan ditarik tanpa tertunda setelah berakhirnya permusuhan aktif. Konvensi ini memiliki lima lampiran yang memuat berbagai model peraturan dan kartu identitas serta kartu lainnya.
- Konvensi Jenewa Keempat
Terakhir, Konvensi Jenewa Keempat, melindungi warga sipil, termasuk mereka yang berada di wilayah pendudukan. Sedangkan, Konvensi Jenewa yang diadopsi sebelum tahun 1949, hanya memperhatikan kombatan saja, bukan warga sipil.
Peristiwa Perang Dunia II menunjukkan dampak buruk dari tidak adanya konvensi yang melindungi warga sipil di masa perang. Konvensi yang diadopsi pada 1949 mempertimbangkan pengalaman Perang Dunia II. Ini terdiri dari 159 pasal.
Konvensi ini memuat bagian singkat mengenai perlindungan umum masyarakat terhadap konsekuensi tertentu dari perang, tanpa membahas perilaku permusuhan, yang kemudian dibahas dalam Protokol Tambahan tahun 1977.
Sebagian besar mengenai Konvensi dengan status dan perlakuan terhadap perang, orang-orang yang dilindungi, yang membedakan antara situasi orang asing di wilayah salah satu pihak yang berkonflik dan situasi penduduk sipil di wilayah pendudukan.
Perjanjian ini menjabarkan kewajiban-kewajiban Kekuasaan Pendudukan terhadap penduduk sipil dan memuat ketentuan-ketentuan rinci mengenai bantuan kemanusiaan bagi penduduk di wilayah pendudukan.
Perjanjian ini juga berisi aturan khusus untuk perlakuan terhadap interniran sipil. Perjanjian ini mempunyai tiga lampiran yang berisi model perjanjian mengenai rumah sakit dan zona keselamatan, model peraturan tentang bantuan kemanusiaan, dan model kartu.
Hestutomo menjelaskan bahwa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki tindakan yang dapat dianggap sebagai kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata.
"Implementasi sanksi atau hukuman dari segi hukum internasional sering kali sulit karena faktor politik dan perbedaan pendapat di antara negara-negara anggota ICC," katanya.
Dia menekankan bahwa kalaupun ada hukuman, itu sifatnya biasanya sukarela oleh negara masing-masing.
"Misal embargo senjata, embargo ekonomi. Mungkin apa yang terjadi dengan Rusia bisa jadi contoh," ujarnya.
Meski begitu, menurutnya dalam konteks Israel, mungkin akan sulit, karena banyak negara Barat yang mendukung.