Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Polemik Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus BTS 4G Kominfo

Kerugian negara dalam perkara dugaan korupsi BTS 4G Bakti Kominfo dinilai ganjil karena pendekatan total loss yang digunakan BPKP dianggap kurang tepat
Polemik Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus BTS 4G Kominfo. Jaksa Agung ST Burhanudin (tengah) menyampaikan keterangan disaksikan Jampidsus Febrie Adriansyah (kanan) dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh terkait kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G / Antara
Polemik Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus BTS 4G Kominfo. Jaksa Agung ST Burhanudin (tengah) menyampaikan keterangan disaksikan Jampidsus Febrie Adriansyah (kanan) dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh terkait kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G / Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Kerugian negara dalam perkara dugaan korupsi BTS 4G Bakti Kominfo dinilai ganjil karena pendekatan total loss yang digunakan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dianggap kurang tepat.

Eks Direktur Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo, Anang Achmad Latif menyampaikan bahwa BPKP telah ceroboh dalam menetapkan kerugian negara dalam kasus ini.

"Bagaimana bisa institusi sekelas BPKP melakukan kecerobohan besar dalam melakukan perhitungan ini. Banyak asumsi-asumsi yang dilakukan tidak sesuai dengan fakta dan pengabaian perhitungan komponen padahal hal tersebut sangatlah penting," kata Anang saat membaca Pleidoi, Rabu (1/11/2023).

Dia menerangkan bahwa perhitungan dari BPKP mencapai Rp8,03 triliun. Padahal, fakta persidangan Bakti baru membayarkan Rp7,7 triliun untuk seluruh pekerjaan per 31 Maret 2022 dengan status 1.795 lokasi on air, 1.112 lokasi di antaranya sudah dibuat berita acara penerimaan hasil pekerjaan (BAPHP). 

"Bagaimana mungkin kerugiannya melebihi jumlah yang sudah dibayar padahal kondisi per 31 Maret 2022 sebanyak 1.795 lokasi on air, 1.112 lokasi diantaranya sudah BAPHP, dan dan mengabaikan 3.088 lokasi lainnya yang sudah mencapai progres fisik proyek mencapai 85 persen, Aneh bin ajaib," kata Anang.

Hal senada juga disampaikan, penasihat hukum terdakwa Irwan Hermawan, Romulo Silaen yang menuturkan prinsip kerugian negara itu harus nyata dan pasti. Sementara dalam kasus BTS ini, tidak ada hitungan kerugian negara yang pasti, mengingat proyek BTS 4G masih berjalan di seluruh indonesia.

"Kerugian negara itu harus nyata dan pasti. Jadi bagaimana mau menghitung kerugian, kalau proyeknya saja masih berjalan sampai saat ini," ujarnya.

Lebih lanjut, dia menyebutkan bahwa proyek BTS 4G ini terbengkalai, namun faktanya proyek ini sempat terkendala oleh pandemi hingga kondisi geografi yang sulit serta faktor keamanan yang membuat pembangunan proyek BTS 4G jadi terlambat.

"Ini kan jadi aneh, kok bisa dianggap ada kerugian negara, tetapi proyek itu masih bisa berjalan. Malah sudah hampir selesai 100 persen di semua daerah," tambah Romulo.

Dalam persidangan yang menghadirkan ahli sebelumnya, Ahli Hukum Keuangan Publik dari Fakultas Hukum UI Dian Puji Nugraha Simatupang menyampaikan bahwa seharusnya perhitungan keuangan negara harus memperhitungkan pertumbuhan aset hingga pengembalian aset ke kas negara.

"Dalam perkara dugaan korupsi, perhitungan kerugian keuangan negara itu harus nyata dan pasti. Apabila pekerjaan masih berjalan, maka belum nyata dan pasti perhitungannya," kata Dian.

Sementara itu, Ahli Audit Keuangan Negara, Irmansyah mengatakan bahwa seharusnya BPKP menggunakan pendekatan selisih harga dalam menghitung kerugian negara akibat proyek tersebut.

"Perhitungan total loss dapat digunakan misalnya apabila kita butuh sepeda gunung, tetapi yang dibeli kemudian bukan sepeda gunung. Namun, apabila yang aset yang dibeli sudah sesuai, meski mungkin ada keterlambatan atau kesalahan prosedur, tetap harus dihitung karena barang-barang tersebut masih dicatat sebagai aset," tutur Irmansyah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper