Bisnis.com, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi telah menjadi bahan pembicaraan sentero negeri. Sebagai penjaga konstitusi, MK dianggap telah keluar pagar. Putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dianggap 'cacat' karena prosesnya dinilai janggal.
Menariknya, indikasi kejanggalan itu justru mencuat dari internal lembaga yang seharusnya menjadi penjaga pintu terakhir konstitusi tersebut. Hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat adalah dua di antara 9 hakim MK yang mengungkap 'cacat moral' putusan MK.
Saldi Isra secara buka-bukaan membongkar sejumlah kejanggalan dalam putusan terkait judicial review alias uji materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Dia juga menunjuk 'manuver' Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, sebagai biang keladi perubahan sikap sejumlah hakim MK. Yang awalnya menolak, menjadi setuju untuk mengabulkan sebagian.
MK, seperti diketahui, kemudian memutus perkara yang diajukan oleh fans Gibran Rakabuming Raka, Almas Tsaqibbirru. Bunyi putusannya, MK tetap mensyaratkan usia 40 tahun sebagai baseline calon presiden dan calon wakil presiden.
Hanya saja, putusan yang dibacakan oleh paman Gibran itu, menambah klausul baru, bahwa aturan itu inkonstitusional, sepanjang tidak berlaku bagi setiap orang yang pernah dipilih secara langsung, termasuk Pilkada.
Konsekuensi dari putusan tersebut adalah pejabat baik pusat maupun daerah yang berumur di bawah 40 tahun boleh melenggang menjadi capres dan cawapres. "Saya benar-benar bingung," ujar Saldi Isra.
Baca Juga
Usai putusan itu, Ketua MK Anwar Usman mendapat banyak sorotan. Statusnya sebagai paman Gibran dan adik ipar Joko Widodo (Jokowi) dipersoalkan. Anwar dianggap terlibat konflik kepentingan dalam putusan perkara tersebut. Padahal dalam proses peradilan terdapat azas-azas mengenai integritas yang tidak boleh dilanggar, salah satunya melarang hakim untuk memutus perkara yang melibatkan keluarganya.
Sedangkan di aturan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia (KEPHKRI), disebutkan bahwa hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau anggota keluarganya, atau siapapun juga.
"Di pangadilan itu ada azas-azas, misalnya, perkara terkait kepentingan sendiri, keluarga, ikatan keluarga maupun hubungan kepentingan politik, itu hakim tidak boleh mengadili,“ ujar Menko Polhukam Mahfud MD dalam sebuah kesempatan.
Namun demikian, kegelisahan Saldi Isra dan sebagian masyarakat tetap tidak akan mengubah apapun. Pasalnya, putusan MK bersifat final dan mengikat. Tidak ada upaya banding atau kasasi seperti diledakkan umum. Soal apakah prosesnya bebas dari kepentingan politik praktis atau tidak, itu soal lain. Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang sedang mencoba menelusuri dugaan kejanggalan tersebut.
Yang jelas norma baru dalam putusan MK terkait UU Pemilu memberi jalan lapang kepada Gibran Rakabuming Raka maju dalam Pilpres 2024. Gibran dideklarasikan sebagai cawapres oleh Golkar pada 21 Oktober 2023. Sedangkan putusan MK dibacakan pamannya pada 16 Oktober 2023 atau 3 hari sebelum KPU membuka pendaftaran calon peserta Pilpres 2024. Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian diledek menjadi Mahkamah Keluarga.
Adapun Anwar Usman telah diperiksa secara tertutup oleh MKMK yang dipimpin oleh mantan Ketua MK periode pertama, Jimly Asshiddiqie.
Usai menjalani sidang MKMK, Anwar Usman mengungkapkan alasan dirinya tidak mundur dari pemeriksaan perkara batas usia capres-cawapres.
"Tidak ada [mundur], ini pengadilan norma. Bukan pengadilan fakta," katanya usai sidang tertutup Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait dugaan pelanggaran etik di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Selasa (31/10/2023).
Ketika ditanya perihal isi UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa hakim konstitusi harus mundur dari perkara yang memungkinkan adanya konflik kepentingan, dia balik bertanya perihal kepentingan siapa yang dimaksud. "Siapa? Kepentingan siapa? Ini pengadilan norma, [kepentingan] semua bangsa Indonesia, rakyat Indonesia," lanjutnya.
Itu sebabnya, dia mengimbau seluruh pihak menanti keputusan MKMK yang memiliki kewenangan menentukan apabila terdapat pelanggaran etik hakim, termasuk dalam putusan tersebut. "Nanti, nanti tunggu hasil [sidang] MKMK, ya," tutup Anwar.
Di sisi lain, Presiden Jokowi, telah berulangkali mengungkapkan tidak akan mencampuri polemik putusan MK. "Mengenai putusan MK, silakan ditanya ke Mahkamah Konstitusi. Jangan saya berkomentar."
Jokowi pada kesempatan yang lain juga memberikan sedikit komentar terkait tudingan dinasti politik yang ditujkan kepada keluarganya. Dia menekankan bahwa isu tentang dinasti politik biar masyarakat yang menilai, karena dalam kontestasi politik kedaulatan ada di tangan rakyat. “Yang mencoblos rakyat, bukan kita, bukan elite,” tukasnya beberapa waktu lalu.
Riuh Hak Angket
Meski mengelak dari tuduhan dinasti politik, namun cawe-cawe politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbuntut panjang. Setelah lama tertidur pulas, DPR akhirnya bangun. Mereka mulai menggulirkan wacana hak angket dan pemakzulan tehadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Wacana hak angket dan pemakzulan mengemuka ke publik menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga sarat kepentingan sebagian pihak. Putusan MK terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) itu terjadi hanya 3 hari sebelum KPU membuka pendaftaran peserta Pilpres 2024.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPR RI Masinton Pasaribu merasa putusan MK nomor 90 itu sebagai tragedi konstitusi. Dia merasa MK telah mempermainkan konstitusi dengan pragmatisme politik yang sempit.
"Saya bicara tentang bagaimana kita bicara tentang bagaimana kita menjaga mandat konstitusi, menjaga mandat reformasi, dan demokrasi ini. Ini kita berada dalam situasi yang ancaman konstitusi," ujar Masinton dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).
Dia mengingatkan Reformasi '98 telah mengamankan negara dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Meski demikian, Masinton merasa putusan MK seakan melanggengkan KKN. Oleh sebab itu, legislator dari daerah pemilihan DKI Jakarta II ini ingin DPR menggunakan hak angketnya untuk menyelidiki polemik putusan MK.
"Kita harus sadarkan bahwa konstitusi kita sedang diinjak-injak. Kita harus menggunakan hak konstitusional yang dimiliki oleh lembaga DPR," ujar Masinton.
Golkar Sebut Hanya Gimik
Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar Maman Abdurahman menganggap usulan penggunaan hak angket DPR untuk mengintervensi Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres hanya gimik politik.
"Ya ini kalau kita melihat hanya bagian dari melakukan gimik-gimik politik, membangun opini publik untuk mendegradasi image dari Pak Prabowo dan Mas Gibran," katanya dalam jumpa pers di kawasan Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (1/11/2023).
Maman lantas mempertanyakan implikasi apa yang akan muncul, di tengah kabar bahwa upaya mewujudkan usulan hak angket ini telah dimulai oleh beberapa pihak.
"Saya pikir, kalaupun itu terwujud ada pengusulan hak angket, terus implikasinya juga apa? Kan enggak ada juga," lanjutnya.
Kendati demikian, pihaknya tetap melihat usulan itu sebagai bagian dari hak konstitusi anggota DPR. "Artinya, itu adalah bagian dari hak konstitusi seorang anggota dewan di parlemen dalam rangka menyampaikan pandangan-pandangan dan pendapatnya," tutur Maman.
Dia pun menyatakan menghormati apa yang memang menjadi hak konstitusi dari anggota DPR, termasuk Masinton Pasaribu selaku sosok yang pertama kali mengusulkan hal itu.
"Namun, kembali lagi, ada mekanisme-mekanisme yang berlaku di internal kami di DPR. Ya silakan itu kalau itu mekanismenya [hendak dijalankan]," ucapnya.
Sebagai informasi, dalam sejarahnya, DPR belum pernah menggunakan hak angket untuk menyelidiki keputusan dari lembaga yudikatif layaknya MK. DPR hanya pernah menggunakan hak angketnya ke lembaga pemerintahan.
Dilansir dari situs resmi DPR, hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan